TIAP PAGI SELALU BARU

TIAP PAGI SELALU BARU

 

Kalau Anda tanya apakah saya senang tinggal di apartemen, jawabnya adalah ya. Mengapa? Oleh karena tiap pagi saya menghirup keharuman baru. Apa yang harum? Parfum tetangga! Soalnya, pintu tetangga depan dan tetangga sebelah hanya terpisah beberapa meter dari pintu kami. Nah, ini yang seru. Kedua tetangga kami adalah wanita kantoran. Pakaiannya keren. Hak sepatunya tinggi. Lalu, parfumnya bukan main wangi.

Tiap pagi pukul 6.00 tetangga sebelah berangkat ke kantornya di Menteng. Begitu ia membuka pintu, lorong apartemen kami langsung semerbak wangi. Sedap! Selama hampir 10 sampai 20 menit lorong kami tetap harum. Kemudian pukul 6.30 pagi tetangga depan membuka pintunya

Kantornya ada di Jalan Sudirman. Wah, yang ini lebih wangi lagi. Parfumnya mewangi ke kanan dan kiri.

Itu terjadi tiap pagi. Tiap pagi kedua tetangga itu mengharumi apartemen kami. Yang hebat, jenis parfumnya berganti tiap pagi Keharumannya berbeda-beda. Namun, semuanya berkelas. Tiap pagi selalu baru. Tiap pagi kami merasakan pengharuman yang baru.

Jika pada suatu hari mobil saya masuk ke bengkel, itulah kesempatan ikut mobil mereka ke STT atau ke Gunung Mulia. Lalu lintas macet malah menyenangkan sebab sepanjang jalan saya asyik menikmati harumnya parfum.

Sebetulnya, tiap orang pun tiap pagi menikmati sesuatu yang baru. Mungkin orang kurang memperhatikannya atau kurang menghargainya. Sebetulnya, tiap pagi ada yang baru. Udara segar yang baru. Warna langit di timur yang baru. Pucuk daun yang baru. Rasa segelas kopi atau secangkir teh yang baru. Semangkuk mi rebus yang baru. Sepotong roti yang baru. Senyuman yang baru. Entahlah. Pokoknya, kalau perasaan kita jeli tiap pagi kita akan mengagumi dan mensyukuri sesuatu yang baru.

Lagu "Great Is Thy Faithfulness" menunjukkan sesuatu yang tiap pagi selalu baru. Refreinnya menekankan, "Morning by morning new mercies I see." Terjemahan harfiahnya, "Pagi berganti pagi rahmat baru kulihat." Bisa juga berarti, "Pagi berganti pagi kebaikan baru kuterima." Atau, "Pagi berganti pagi pertolongan baru kudapat." Lirik itu ditulis oleh Thomas Chisholm (1866-1960), guru dan wartawan asal Kentucky, AS. Ini bait pertamanya:

Great is Thy faithfulness, O God my father, There is no shadow of turning with Thee Thou changest not, Thy compassions, they fail not, As Thou hast been, Thou forever wilt be.

Ref.: Great is Thy faithfulness! Great is Thy faithfulness! Morning by morning new mercies I see; All I have needed Thy hand hath provided; Great is Thy faithfulness, Lord, unto me!

Di PKJ 138 dan NKB 34 tertulis: Setia-Mu, Tuhanku, tiada bertara, di kala suka, di saat gelap. Kasih-Mu, Allahku, tidak berubah, Kaulah Pelindung abadi, tetap.

Ref.: Setia-Mu, mengharu hatiku, setiap pagi bertambah jelas. Yang kuperlukan tetap Kauberikan sehingga aku pun puas lelas Lagu itu lahir berdasarkan Ratapan 3:22-23 yang berbunyi: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, besar kesetiaan-Mu! tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi;

Supaya jelas, buku Ratapan bukan meratapi orang-orang yang dibuang ke Babel, melainkan meratapi orang-orang yang tidak ikut dibuang ke Babel. Orang yang dibawa ke Babel adalah para teknisi yang terampil, cendekiawan, dan tenaga ahli yang akan dimanfaatkan oleh pemerintah Babel. Mereka tidak tersiksa. Segala kebutuhan mereka dicukupi.

Yang justru menderita adalah orang-orang yang ditinggalkan di Yerusalem. Mereka adalah para janda perang, anak-anak, lansia, dan orang-orang yang kepandaiannya tidak dibutuhkan oleh Babel. Mereka ditinggal di Yerusalem yang sudah porak-poranda akibat serbuan tentara Nebukadnezar dari Babel (meliputi Turki, Irak, Iran, Suriah kini) pada tahun 587 SM. Mereka tidak punya tempat tinggal. Mereka tidak punya pekerjaan. Mereka tidak punya makanan. Ladang hancur. Tempat pertukangan dibakar. Sumur dijejali jenazah. Rumah dijarah. Perempuan diperkosa (lih. "Meratap, tetapi Tetap Berharap" di Selamat Berteman).

Lalu tiga atau empat orang penyair anonim yang menjadi saksi mata penghancuran itu menulis Kitab Ratapan. Kitab ini mengacu ke Kitab Yeremia, namun Nabi Yeremia tidak ikut menulis kitab ini.

Para penulis Kitab Ratapan berterus terang menuangkan emosi kecewa, sakit hati, geram, rasa bersalah, putus asa, sesal, frustrasi, sedih, marah, dan sebagainya. Dalam keadaan yang betul-betul terpuruk itu mereka memanfaatkan apa yang tersisa untuk bertahan hidup, menyambung nyawa, mendirikan tempat tinggal, dan mengais ladang. Lalu para pengarang Kitab Ratapan ini bersaksi, "Kasih setia TUHAN rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi!" Tiap pagi ada harapan baru. Tiap pagi ada celah baru. Tiap pagi ada semangat baru. Tiap pagi selalu baru!

Tiap pagi kita bangun. Artinya, tiap pagi ada hari yang baru. Tiap pagi ada kesempatan baru. Tiap pagi ada kemungkinan baru. Tiap pagi ada kesegaran baru.

Entah apa kesegaran baru yang Anda temukan tiap pagi. Kalau saya, ya tadi itulah, Kesegaran baru tiap pagi adalah wanginya parfum tetangga yang cantik-cantik itu. Mungkin Anda heran. Mengapa Pak Andar begitu gandrung ngomongin parfum? Apakah Pak Andar suka pakai parfum?

Memang. Kami berdua di rumah sering pakai parfum. Hanya saja, cara pakainya berbeda. Tetangga pakainya dioles, kami digosok. Mereknya juga beda. Tetangga pakai merek Bucheron, Chanel, atau Gucci. Padahal kami pakai merek Cap Tawon, Cap Macan, atau Cap Lang.

SIFAT ORANG INDONESIA

SIFAT ORANG INDONESIA

 


Orang Indonesia itu suka pura-pura, lain di muka lain di belakang. Orang Indonesia boros, punya uang langsung dihambur-hamburkan. Kalau tidak betul-betul terpaksa, orang Indonesia enggan kerja keras. Sifat orang Indonesia juga suka pamer harta dan pamer kuasa. Mereka juga gampang melempar tanggung jawab. Kalau bersalah bukan minta maaf, melainkan berkata, "Bukan saya!"

Mungkin Anda langsung bereaksi, "Siapa bilang? Siapa kata? Siapa orang yang berkata begitu?"

Orang yang berkata begitu adalah Mochtar Lubis. la budayawan dan wartawan terkemuka. Berkali-kali ia dianugerahi penghargaan internasional di bidang jurnalistik. Pada dasawarsa 60-an sampai 80an ia memimpin koran Indonesia Raya yang terkenal dengan berita investigatifnya menguak korupsi dan kebohongan pejabat pemerintah.

Dalam hubungan apa Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas itu? Dalam suatu pidato kebudayaan. Dari waktu ke waktu Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mengundang pemikir kebudayaan untuk memaparkan visinya dalam bentuk ceramah yang disebut pidato kebudayaan.

Lalu Mochtar Lubis pun diundang. Judul pidatonya "Manusia indonesia". Auditorium TIM di Jalan Cikini penuh sesak. Itu terjadi pada tahun 1977. Suasananya masih saya ingat sebab saya hadir bersama beberapa guru STT Jakarta, yaitu Peter Latuihamallo dan Liem Khiem Yang.

Selama dua jam penuh Mochtar Lubis menyampaikan kata-kata edas. Orangnya memang sangar dan sengit. Hadirin tersentak. Kata kitanya memerahkan telinga dan menyakiti hati. Akan tetapi, hadirin dibuat bermawas diri. Ini masyarakat kita. Ini diri kita sendiri. Ini kenyataan.

Apa yang selama ini tidak pernah diangkat ke permukaan, tiba tiba dibeberkan dengan gamblang. Sinyalemen Mochtar Lubis adalah terobosan untuk mawas diri, introspeksi, dan swakritik.

Sebenarnya, dalam pidatonya yang lugas dan padat Mochtar Lubis menyebut puluhan watak atau mental kita yang buruk. Raut mukanya tampak geram dan geregetan sepanjang pidatonya. la mendesak kita untuk mawas bahwa bangsa kita mustahil bisa maju kalau kita tidak membarui watak kita. Selama ini kita terlena. Kita sudah terbiasa dengan sifat-sifat kita, padahal banyak sifat-sifat itu merugikan diri kita sendiri.

Jika sebuah sifat atau watak sudah membudaya dalam masyarakat dan mendarah daging dalam kepribadian kita, masih bisakah kita mengubahnya? Tentu saja bisa. Tiap orang bisa berubah. Tiap orang bisa membarui dirinya.

Dalam Alkitab terdapat Orang yang Berguna'), seorang pemuda di Kolose yang menggelapkan uang majikannya lalu melarikan diri. Kemudian ia ditangkap oleh pihak yang berwajib di Efesus. la dijebloskan dalam penjara yang sama dengan Rasul Paulus. Selama hampir dua tahun Onesimus bergaul erat dengan Rasul kisah Onesimus (artinya 'Gunawan' atau

Paulus. Tiap hari ia melihat teladan nyata Paulus. Sedikit demi sedikit teladan-teladan itu diserapnya. Setahap demi setahap ia bertumbuh dan berubah. la yang sebelumnya selalu bersikap sembarangan kin mulai belajar hidup secara bertanggung jawab, jujur, dan berdisiplin

Lalu Rasul Paulus mengirim surat rekomendasi kepada majikan disiplin, tempat dulu Onesimus bekerja agar Onesimus bisa diterima kembali Tulis Paulus, "... dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna bagimu maupun bagiku" (Flm. 1:11).

 Perhatikan kutipan itu. Di situ terdapat pertentangan. Yang dipertentangkan adalah "dahulu" dan "sekarang". Maksudnya, sifat Onesimus dahulu dan sifatnya yang sekarang.

Apa isi pertentangan itu? Dahulu Onesimus "tidak berguna", sekarang "sangat berguna".

 Dalam bahasa aslinya pertentangan itu lebih mencolok. Dahulu akhreston, sekarang eukhreston. Akar kata khrestos artinya 'berguna", Di sini Paulus melakukan permainan kata antara khrestos (khreston) yang diberi awalan a (artinya 'tanpa', 'tiada', 'tidak') dengan khrestos (khreston) yang diberi awalan eu (artinya 'bagus', 'baik'). Maksudnya, dahulu tidak bisa berguna, tidak bisa dipercaya, tidak bisa berkomitmen, sekarang bisa berguna, bisa dipercaya, dan bisa berkomitmen.

 Tiap orang memang bisa mengubah dan membarui sifatnya. Dari tidak berguna menjadi berguna. Dari tidak bertanggung jawab men menjadi berdisiplin, jadi bertanggung jawab. Dari tidak berdisiplin.

Mochtar Lubis melontarkan kata-kata pedas. Orang Indonesia munafik; ucapannya santun, tetapi hatinya dengki. Orang Indonesia suka bohong. Orang Indonesia rakus harta. Kata-kata itu kasar. Akan tetapi, Mochtar Lubis punya maksud yang mendidik. la ingin Indonesia maju. Oleh sebab itu, orang Indonesia perlu berubah dan mengubah sifatnya yang buruk. la mendesak, "Jika kita terus begini, tidak mengubah cara-cara berpikir dan berbuat..., maka saya khawatir kita akan..."

Pidato Mochtar Lubis memancing reaksi yang tajam. Bukan hanya pada pertemuan itu, melainkan juga dalam tahun-tahun berikutnya. Apalagi ketika bukunya terbit dengan judul Manusia Indonesia - Sebuah Pertanggungjawaban terbitan Idayu tahun 1978.

Menjawab tanggapan Sarlito Wirawan, psikolog dari Universitas Indonesia, Lubis berkata, "Korupsi, munafik, lemah watak, cenderung berlambat-lambat, tinjaulah cara orang bekerja di kantor-kantor.... merupakan gejala yang begitu umum di seluruh tanah air kita..."

Kontroversi sinyalemen Mochtar Lubis meluas dan menggema ke ranah psikologi, pedagogi, sosiologi, dan politik. Beberapa tahun setelah terbitnya buku itu, Mochtar Lubis ditanya apakah ia masih bersikukuh dengan sinyalemennya tentang sifat-sifat orang Indonesia. la menjawab, "Saya malah tambah yakin."

Orang Indonesia jago pura-pura. Katanya mendukung pembe rantasan korupsi, tetapi ternyata ia juga korupsi. Orang Indonesia tukang ikut-ikutan, satu orang ngomong begitu semua orang ikut ngomong begitu. Orang Indonesia gila hormat. Orang Indonesia mau kaya, tetapi tidak mau kerja keras; mau pintar, tetapi tidak mau banting tulang.

Mochtar Lubis menuding dengan keras. Anda tidak setuju? Bagus, saya juga tidak setuju. Anda anggap Mochtar Lubis keliru? Bagus, saya juga.

Kalau begitu, mari kita buktikan bahwa Mochtar Lubis keliru. Caranya? Mari kita mulai dengan diri kita sendiri. Mari kita buktikan bahwa kita bukan tukang pura-pura. Mari kita buktikan bahwa kita bisa kerja keras. Mari kita buktikan bahwa kita bisa disiplin waktu. Mari kita buktikan bahwa kita bisa bertanggung jawab. Mari kita buktikan bahwa kita bisa berprestasi. Mari kita buktikan bahwa kita jujur.

Mari kita buktikan. Mulai dari diri kita sendiri.

LUTHER NGAMEN LAGU GEREJA

LUTHER NGAMEN LAGU GEREJA

"Ayahku petani, Kakekku petani. Semua leluhurku betul-betul petani." Demikian ucap Martin Luther dengan bangga kepada teman-teman sekolahnya. Dalam bahasanya sendiri, "Mein Vater, Grossvater, Ahnherr sind rechte Bauern gewest."

Memang kemudian hari ayah Luther beralih kerja di pertambangan tembaga, namun ucapan Luther tadi mau menunjukkan bahwa ia dibesarkan dalam keluarga pekerja keras. Kata Luther, "Ibu saya berbadan kecil dan ia terbungkuk-bungkuk memikul kayu bakar dari hutan di atas punggungnya. Ayah dan ibuku tiap hari bekerja keras untuk memberi kami makan." Luther lahir di Eisleben pada tanggal 10 November 1483. Ayahnya bernama Hans Luther dan ibunya Margaretha Lidemann.

Luther dan ketiga adik lelaki serta ketiga adik perempuan dibesarkan dengan disiplin yang tinggi. Mereka dididik jujur, tangguh, pada sembarang waktu mau melakukan jenis pekerjaan apa pun. Hanya akibat mencuri beberapa butir kacang, Luther dicambuk oleh ibunya sampai berdarah. Luther juga pernah dipukuli oleh ayahnya hingga ia lari ketakutan, menyembunyikan diri di tepi hutan. Takut bersalah, takut dimarahi, dan takut dihukum menghantui Luther hingga masa dewasanya. Akan tetapi, tiap kali ia bercerita tentang hal itu kepada teman-temannya ia berkata, "Namun aku tahu betul ayah dan ibuku punya maksud yang sungguh-sungguh baik di balik semua hukuman itu."

Luther juga dibesarkan dalam suasana takhayul. Ayah dan ibunya sering bercerita tentang hantu yang selalu mengawasi tingkah laku kita. Jika kita melakukan kesalahan, kita akan disihir dan ditelan oleh makhluk jahat itu. Oleh sebab itu, kita memerlukan ibadah-ibadah gereja untuk menangkal kuasa-kuasa jahat.

Memang orang tua Luther sungguh setia ke gereja. Luther selalu menyimak tiap detail ibadah dengan mata yang tajam dari awal hingga akhir, la juga anggota paduan suara anak yang penuh semangat. la hafal semua lagu gereja. Sesuai dengan kelaziman pada waktu itu, Luther dan kawan-kawannya sering berkeliling ke desa-desa lain dan bernyanyi di depan rumah orang-orang di situ dengan suara yang nyaring. Seusai bernyanyi anak-anak ini pergi sambil melompat ke girangan melihat upah yang mereka terima berupa roti atau apel, dan kadang-kadang sekeping koin.

Pada usia 14 tahun Luther meninggalkan rumah orang tuanya dan bersekolah Latin di Magdeburg. Guru-guru di sekolah itu adalah lulusan Persaudaraan Hidup Bersama (Brethern of the Common Life), suatu organisasi pendidikan iman dan ilmu yang sangat bermutu di Belanda, bentukan filsuf Pendidikan Agama Kristen (PAK) bernama Geert Groote (1340-1384).

Setahun kemudian Luther pindah ke sekolah di Eisenach. Di sekolah mana pun Luther belajar ia selalu menonjol sebagai murid yang paling cerdas, rajin, dan suka berprakarsa.

Karena bakat-bakat Luther yang menonjol, ia dipersilakan oleh Ibu Ursula Cotta untuk tinggal di rumah keluarga bangsawan Schalbe dengan tugas menjadi guru les privat bagi anak mereka. Ibu Cotta ini mengikuti jejak Santa Elizabeth dari Puri Wartburg, tak jauh dari situ, yang sudah melegenda dari abad ke-13 sebagai penolong petani miskin (lih. "Das Rosenwunder" di Selamat Melayani Tuhan).

Pada usia 17 tahun Luther meninggalkan Eisenach untuk masuk perguruan tinggi di Erfurt, yang terbaik di Jerman pada zaman itu. Ayahnya ingin agar Luther menjadi ahli hukum yang terkemuka.

Sementara itu, diam-diam ayah Luther sudah menyiapkan seorang nona cantik dan kaya raya untuk dijodohkan dengan Luther. Pintu istana raja akan terbuka lebar untuk seorang ahli hukum yang berilmu dan berharta. Demikian dambaan ayahnya.

Dari luar jalan hidup Luther tampak lancar, namun sebenarnya ia menghadapi banyak pergumulan. Segala pengalaman baik dan buruknya sejak kecil membuat dia takut jika teringat bahwa Allah adalah hakim. "Allah adalah Hakim yang adil dan Allah yang murka setiap saat" (Mzm. 7:12). Luther langsung berkesimpulan, kalau begitu semua orang akan dihukum, termasuk dirinya sendiri sebab dosanya banyak. Akibatnya, ia kadang-kadang berpikir untuk mencari kedamaian dengan cara menjadi biarawan.

Pada suatu petang di tengah badai ia berjalan di ladang. Tiba-tiba halilintar menyambar begitu dekat sehingga ia terlempar beberapa meter ke belakang akibat tekanan udara halilintar itu. Sebagai reaksi refleksnya ia langsung berteriak, "Santa Anna, tolonglah aku! Aku janji. Aku mau jadi biarawan!"

Tanpa setahu ayahnya Luther meninggalkan sekolah hukum. la masuk biara ordo yang paling ketat disiplinnya, yaitu Ordo Augustin. Baru beberapa waktu kemudian ia menyurati ayahnya. Tentu saja ayahnya marah bukan kepalang.

Akan tetapi, Martin Luther sudah memastikan dirinya berada di biara. Jalan menuju hari depannya telah berganti arah. Bukan menjadi ahli hukum di istana raja, melainkan rahib sederhana di biara. Ia tidak tahu bahwa jalan di hadapannya ini justru akan membuat dia mengubah sejarah dunia.


LUTHER YANG TERUS GELISAH

LUTHER YANG TERUS GELISAH



"Biarawan yang satu ini paling berbeda, la paling patuh dan berdisiplin. Ia juga paling giat dan cerdas." Demikian kesan para teman dan pembimbing di biara ordo Augustin tentang Martin Luther.

Memperhatikan semua potensi yang ada pada Luther, para pembimbingnya memberikan tugas tambahan padanya, yaitu menempuh studi formal ilmu biblika di perguruan tinggi, selain menjalankan kewajiban sehari-harinya di biara. Bidang studi ini kurang lazim. Biasanya para biarawan mempelajari ilmu filsafat, namun Luther ditugaskan mempelajari ilmu biblika, sebuah bidang studi yang mulai berkembang berkat timbulnya gerakan Renaissance yang mendalami secara ilmiah bahasa-bahasa Ibrani dan Yunani sebagai bahasa asli Alkitab.

Sementara itu, kemarahan ayah Luther mulai agak mereda. Ayahnya mulai mau menerima kenyataan bahwa cita-citanya untuk mempunyai putra yang menjadi ahli hukum di kalangan istana raja agaknya sudah kandas. Putranya ternyata menjadi biarawan. Lalu pada suatu hari dengan perasaan masih jengkel, namun kangen, sang ayah mengajak sanak keluarga untuk mengunjungi Luther. Yang berminat ternyata banyak. Begitulah dua puluh ekor kuda berderap ke Erfurt, bagaikan sebuah pasukan dengan sang ayah di atas kuda yang mendompak-dompak di paling depan.

 Selama beberapa tahun di biara di kota Erfurt dan Wittenberg kinerja Luther terus maju. la sangat diandalkan oleh kepala ordonya la ditugaskan mengajar filsafat di fakultas artes liberales. la ditahbiskan menjadi imam. Ia dikirim ke Roma mewakili ordonya untuk merundingkan sesuatu dengan Vatikan.

Selama di Roma Luther memanfaatkan tiap kesempatan dengan sebaik-baiknya. Tiap hari ia berkeliling mengunjungi gereja-gereja yang bersejarah. Di tiap gereja ia mengikuti upacara untuk men dapatkan pengampunan dosa. la berpuasa. la merangkak dengan lututnya menaiki puluhan anak tangga. Di tiap anak tangga ia berlutut dan mengucapkan Doa Bapa Kami. Ia sangat bersungguh-sungguh berdoa untuk membebaskan almarhum kakeknya dari api penyucian. Akan tetapi, pada malam harinya ia gelisah mempertanyakan apa dasar di balik upaya-upaya seperti itu. Apakah penyesalan dosa kita diukur oleh Allah berdasarkan banyaknya anak tangga yang kita naiki, banyaknya doa yang kita ucapkan, dan banyaknya jam puasa kita? Apakah Kristus menyuruh kita menyiksa diri?

Semua teman dan pembimbingnya di biara melihat Luther sebagai pribadi yang mantap. Mereka tidak tahu bahwa sebetulnya Luther selalu gelisah. Yang meresahkan Luther adalah isu pengampunan dosa.

Sejak kecil Luther sudah diajarkan bahwa untuk menerima pengampunan dosa kita harus hidup saleh dan berbuat baik. Semua hal itu sudah ia lakukan, apalagi dalam biara. Ia menyiksa diri. Ia melakukan doa puasa bahkan pernah sampai pingsan. Dari subuh hingga larut malam ia mengucapkan puluhan doa. Seluruh hidupnya adalah ibadah. Namun, semakin giat ia melakukannya, semakin ia gelisah.

Untunglah bahwa para pembimbing ordonya terbuka untuk menampung kegelisahan Luther. Luther sangat kagum pada sifat bijak kepala ordonya, yaitu Johan von Staupitz yang ia anggap sebagai bapa rohani. Akan tetapi, para pembimbing itu pun tidak bisa menjawab kegelisahan Luther

Untuk meredakan kegelisahannya, Luther juga membaca buku-buku renungan karangan Bernard Clairvaux dari Ordo Cisterciens di Prancis yang dibaca oleh kalangan luas mulai dari petani sampai Sri Paus (lih. "Kepala Yang Berdarah" di Selamat Bercinta). Akan tetapi, kegelisahan Luther tidak teratasi.

 Luther terus bekerja keras menjalankan tugas dari ordonya, la menjadi kepala atas sebelas biara Augustin di negara bagian itu dan menjadi penulis buku-buku tafsir Alkitab.

 Justru setelah Luther lulus sebagai doktor dalam ilmu Alkitab, ia semakin gelisah, "Sebagai Hakim yang memegang kebenaran, tentu Allah adil. Orang berdosa dihukum ke neraka, orang benar masuk surga. Supaya menjadi orang benar kita banyak beribadah dan ber amal. Akan tetapi, betulkah bahwa Allah bisa dipengaruhi dengan banyaknya ibadah serta amal kita?"

Lalu, pada suatu hari ketika mempelajari Kitab Roma, batin Luther seakan-akan tercelik. Di situ tertulis, "... Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya... Sebab di dalamnya dinyatakan pembenaran oleh Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman..." (Rm. 1:16,17, TB2).

Mula-mula Luther merasa ada kejanggalan dalam ayat itu sebab selama ini ia belajar bahwa kebenaran berarti keadilan. Hakim yang adil membenarkan orang bersih dan menghukum orang bersalah. Jika seandainya kebenaran Allah diartikan seperti itu, maka tidak ada orang bisa selamat.

Akan tetapi, ayat itu menunjukkan bahwa kebenaran Allah bukan membenarkan orang bersih, melainkan justru membenarkan orang berdosa. Artinya, kita semua dianggap benar atau dinyatakan benar oleh Allah. Itu terjadi dalam Injil (bukan dalam arti kitab, melainkan dalam arti perbuatan Kristus di salib). Itu adalah rahmat Allah. Kebenaran Allah berarti rahmat Allah. Itulah kekuatan Allah. Jadi, kita memperoleh pengampunan bukan karena perbuatan ibadah dan amal kita, melainkan karena rahmat Allah yang diberikan kepada kita Rahmat atau anugerah adalah pemberian yang tidak berhak kita terima, namun diberikan kepada kita.

Mendengar pergumulan dan penelitian Luther itu, para biarawan termenung-menung, "Sola Gratia!" artinya hanya karena rahmat', "hanya oleh rahmat', 'hanya dari rahmat'.

Pada tahun itu juga, yaitu tahun 1514 atau 1515, hasil penelitian. Luther tersebar melalui buku Tafsiran Surat Roma. Di banyak biara buku Luther itu dipelajari secara cermat. Para biarawan mulai membuka dan membarui pikiran mereka. Mereka mulai mereformasi pola pikir mereka. Proses reformasi gereja pun mulai menggelinding.

Belasan tahun setelah penelitian Surat Roma itu, Luther menulis, "Saat itu aku merasa seolah-olah lahir kembali dan memasuki Firdaus melalui gerbang yang lebar. Alkitab menjadi berbeda sekali. Dulu aku begitu membenci istilah 'Kebenaran Allah', namun setelah itu aku justru sangat menghargainya ...Aku terbebas dari rasa takut yang menggelisahkan batinku sejak masa mudaku."

LUTHER TERTANTANG

LUTHER TERTANTANG

 

Sebagai biarawan yang berdisiplin, Martin Luther tidak pernah meragukan ajaran resmi Gereja Katolik tentang pengampunan dosa. Keyakinan itu tetap ia pegang, juga setelah menulis buku Tafsiran Surat Roma yang memuat dalilnya bahwa kebenaran Allah berimplikasi Allah membenarkan atau membuat benar kita yang semula tidak benar. Pembenaran itu adalah rahmat atau anugerah Allah yang terwujud dalam penyaliban Kristus (lih. "Luther yang Terus Gelisah" di Selamat Membarui).

Akan tetapi, ajaran yang baku itu ternyata dipraktikkan berbeda di lapangan. Johan Tetzel, seorang kepala biara, mengajar bahwa pengampunan dari Allah bisa diperoleh jika kita mempersembahkan uang. Sebagai tanda terima pembayaran itu, Tetzel memberikan surat penghapusan siksa. Akibatnya, ada orang yang tidak merasa perlu bertobat dari dosanya karena sudah membayar surat penghapusan siksa. Ajaran Tetzel itu melecehkan hakikat ajaran baku gereja Katolik tentang sakramen pengampunan.

Luther menentang keras ajaran Tetzel dengan cara menempelkan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalil ke-1 berbunyi, "Bila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata, "Bertobatlah...', maksudnya adalah agar segenap hidup kita meru. pakan pertobatan..."

 Dengan dalil-dalilnya Luther bukan melawan ajaran Gereja Katolik malah membela. Yang dilawan adalah pelaksanaannya di lapangan.

 Yang paling jengkel pada gerakan Luther ini adalah para penjual surat penghapusan siksa dan negara-negara bagian yang menerima setoran hasil penjualan. Pada zaman itu kekaisaran Jerman meliputi Austria, Swiss, Belanda, sebagian Prancis, dan terbagi atas negara negara bagian yang dikepalai oleh raja atau oleh uskup. Negara dan agama menjadi satu sehingga raja turut mengatur gereja dan uskup turut mengatur negara.

Untuk menjelaskan polemik ini Luther mengirim surat kepada Paus Leo X. Lalu Paus menetapkan agar Luther menghadap dewan hakim di Roma. Raja Friedrich menolak ketetapan Paus itu mengingat keamanan Luther tidak terjamin di Italia.

Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut, Luther terus bekerja. la mempelajari sejarah jabatan-jabatan gerejawi dan menemukan bahwa pemahaman tentang peran umat dan pejabat gereja sudah jauh menyimpang dari jiwa gereja abad pertama. Ia menemukan bahwa para rohaniwan terlalu banyak mengumpulkan kekuasaan dan berpretensi tidak bisa bersalah, padahal sudah terbukti ada beberapa persidangan sinode atau konsili yang ternyata membuat keputusan keliru. Menurut Luther, patokan kita yang paling tinggi bukanlah peraturan gereja, melainkan firman Allah. Tulisan Luther mengenai hal ini menggoyang kedudukan para rohaniwan, termasuk Sri Paus.

Kemudian Paus mengirim dewan hakim ke Jerman untuk memeriksa Luther. Setelah berpolemik selama sekitar tiga tahun, Kaisar Karel V mengadakan sidang yang dihadiri oleh para kepala negara bagian yang anti Luther. Pada tanggal 26 Mei 1521 ditetapkan bahwa Luther dan tiap pengikut ajarannya dikutuk. Semua buku Luther harus dibakar. Luther dinyatakan berstatus vogel vry verklaard, yaitu boleh dianiaya dan dibunuh oleh siapa saja.

Pada malam itu, dalam perjalanan pulang, kereta Luther disergap gerombolan penculik. Luther dibawa masuk ke hutan. Para pengawal Luther tidak berdaya. Keesokan harinya tersiarlah berita bahwa Luther dibunuh dan mayatnya belum bisa ditemukan. Padahal, para penculik adalah suruhan Raja Friedrich yang melindungi Luther. Luther pun disembunyikan di Puri Wartburg di Eisenach.

Selama bersembunyi Luther terus bekerja keras. la menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Jerman sehari-hari. Sebelumnya, Alkitab hanya dicetak dalam bahasa Latin sehingga hanya para rohaniwan saja yang bisa membaca Alkitab. Padahal Luther ingin agar tiap orang termasuk para petani pun bisa mengerti dan menikmati Alkitab serta buku-buku renungan.

Kutuk yang ditetapkan oleh Kaisar Karel V berimplikasi bahwa gereja tidak memberi ruang lagi kepada Luther dan pengikutnya. Oleh sebab itu, sejumlah imam mulai mengadakan ibadah tersendiri yang lepas dari gereja. Yang mencolok berbeda adalah liturginya yang lebih mengikutsertakan partisipasi umat dan digantinya bahasa Latin dengan bahasa nasional. Umat menyambut pembaruan ini. Ini menjadi awal lahirnya persekutuan sebuah gereja yang baru yang terpisah dari Gereja Katolik. Itulah benih lahirnya Gereja Reformasi.

Belum lagi Gereja Reformasi ini berakar, ia sudah dirongrong dari dalam. Pada bulan Februari 1522 di Wittenberg sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Reformasi berpikir radikal dan bertindak biadab. Mereka menyerbu gereja-gereja Katolik dan merusak segala simbol Katolik seperti mezbah, salib, patung Kristus, dan lainnya.

Mendengar peristiwa ini Luther keluar dari persembunyiannya lalu menghardik kelompok radikal ini. Luther memarahi Karlstadt (guru besar universitas Wittenberg) yang memimpin kelompok radikal ini, "Kamu bodoh! Reformasi bukan membenci dan menghancurkan, melainkan memperbaiki dan membarui!"

Sejak itu Luther tidak bersembunyi lagi. Ternyata kutuk Kaisar Kare V sudah luntur wibawanya sebab kaisar sudah tidak bersahabat lag dengan Sri Paus. Lagi pula kaisar sedang bertikai urusan perbatasan dengan Prancis dan Turki.

Luther meneruskan gerakan pembaruannya dengan terus menulis Buku-bukunya membuka pikiran banyak orang. Ia diperbolehkan tinggal di biara. Pada usia 42 tahun ia menikah dengan Catharina von Bora dan mempunyai beberapa anak, Hanschen, Magdalena, Martin Paul, dan Margaretha. Untuk mengongkosi hidup, istrinya memelihara sapi dan menanam kentang. Istrinya menghiasi pintu gerbang rumahnya dengan ukiran "la hidup!" Juga ukiran "Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." Kedua kalimat itu dikutip dari Lukas 24:23 dan Yesaya 30:15. Sekarang tempat tinggal keluarga Luther itu menjadi museum di Wittenberg.

Luther meninggal pada usia 62 tahun. Sampai akhir hidupnya ia terus tertantang untuk mendidik gereja meninjau ulang dan membarui pola pikir tentang iman. Ribuan karya tulis diwariskannya kepada gereja. Ketika temannya memuji karya-karyanya, Luther menjawab dengan mata yang menerawang jauh, "Ini buah pendidikan dari ayahku yang keras waktu aku kecil".

HARI PERTAMA KE SEKOLAH

HARI PERTAMA KE SEKOLAH

 


Tahun ini tepat 70 tahun lalu saya mulai bersekolah. Kawan-kawan salingmenelepon, "Kita harus kumpul. Tahun ini genap 70 tahun kita mulai saling kenal!"

Tujuh puluh tahun yang lalu! Bayangkan ... Saat itu saya berumur enam tahun. Kami jadi murid kelas 1 di Christelijke Lagere School (harfiah: Sekolah Rendah Kristen) Jalan Kebonjati Bandung.

Banyak hal sudah lenyap dari ingatan tentang kejadian itu. Sebaliknya, ada banyak hal yang masih segar teringat.

Jauh sebelumnya, Ayah dan Ibu sudah mempersiapkan diri saya. Mereka berkata, "Nanti di sekolah ada banyak teman. Yang mengajar adalah ibu guru yang disapa 'juffrouw'. Orangnya baik. la akan mengajar membaca. la akan mengajar menulis. Semua murid harus menurut dan mendengarkan juffrouw."

Lalu tibalah hari itu. Hari pertama ke sekolah. Saya berjalan dituntun oleh Ci De (singkatan dari Cici Gede), yakni kakak perempuan tertua. Makin dekat ke sekolah tangan saya makin dingin. Genggaman tangan Ci De hangat dan itu terasa menenteramkan. Setibanya di depan sekolah Ci De berpesan, "Pilih bangku paling depan. Jangan takut. Nanti Ci De menunggu di luar jendela." Leher, tangan, dan kaki saya terasa kaku. Sungguh menakutkan.

Di dalam kelas saya semakin takut. Keringat dingin mengucur. Sebentar-sebentar saya melirik ke jendela. Untunglah, Ci De ada di situ. la tersenyum. Saya jadi lebih tenang.

Juffrouw hanya berbicara dalam bahasa Belanda. Berdoa dalam bahasa Belanda. Bernyanyi dalam bahasa Belanda. Memarahi juga dalam bahasa Belanda. Terpaku saya di bangku dengan bingung.

Ternyata pada hari-hari berikutnya saya masih tetap takut. Bahkan lebih takut lagi sebab setiap kali juffrouw mengajar cara menulis sebuah huruf, ia berkeliling memeriksa tulisan kami. Murid yang salah langsung dimaki.

Makian kepada tiap murid berbeda-beda. Ada yang diomeli, "Garnalen kop!" (Otak udang). Ada "Stomme ezel" (Keledai goblok). Makian kepada saya adalah, "Hong An, domme koe!" (Hong An, sapi bodoh!).

Tiap hari juffrouw memberi pekerjaan rumah. Murid yang pekerjaan rumahnya belum tuntas dijajarkan di depan papan tulis dan disuruh menungging. Lalu juffrouw memukul pantat kami dengan penggaris panjang. Kami diomeli.

Tiada hari tanpa takut. Itulah ingatan saya tentang juffrouw. Tentu saja kemudian hari penilaian saya berubah total. Saya menyadari bahwa dia orang yang berjasa kepada saya (lih. "Juffrouw Thio" di Selamat Berteman). Namun, pada waktu kelas 1 juffrouw itu sangat menakutkan, lebih menakutkan daripada nenek sihir dalam dongeng.

Tidak lama kemudian teman sebangku saya tiap hari absen. Entah ke mana dia. Lalu beberapa minggu kemudian tiba-tiba ia muncul kembali. Mukanya pucat. Badannya lemas. Matanya sayu. Saat memungut buku dari lantai tangannya gemetar. Lalu apa yang saya perbuat? Tidak. Apakah Apakah saya saya merasa menolong iba? Tidak dia? Tidak. Apakah saya prihatin?

Mengapa saya tidak peduli kepada teman sebangkuitu? Oleh karena saya sedang sibuk peduli kepada diri sendiri, yaitu bagaimana supaya kesalahan saya jangan ketahuan oleh juffrouw.

Tiap murid di kelas cuma sibuk peduli kepada diri sendin. Semua sibuk can selamat sendiri alias slamet dewe, yaitu luput dan hukuman juffrouw

Apatisme dan egosentrisme itu sangat wajar pada murid kelas 1 SD. Tidak ada anak berusia enam tahun mampu bertenggang rasa dan berbela rasa. Kita tidak ikut sedih ketika ada teman dimarahi. Kita juga tidak ikut bangga ketika ada teman dipuji.

Akan tetapi, jika apatisme dan egosentrisme itu terjadi pada kita yang sudah dewasa, itu pertanda ada yang kurang beres dengan kepribadian kita kepribadian yang normal selalu mengembang. Dari waktu ke waktu kepribadian yang sehat membarui dirinya, yaitu memperbaiki dan mematangkan diri. Pada usia 6 tahun begini, tetapi pada usia 10 atau 20 tahun sudah harus berubah. Apalagi pada usia dewasa

Terkadang ada orang yang usianya dewasa, namun kepribadiannya seperti anak kecil, yaitu apatis dan egosentris, masa bodoh, tidak mau peduli, tidak mampu tenggang rasa. Apa penyebabnya? Lewis Sherrill, guru Pendidikan Agama Kristen (PAK) di Sekolah Teologi Union New York, berteori bahwa penyebabnya adalah karena tiap orang pada tiap tahap usianya mempunyai dua pilihan dalam hal kepribadian dan iman. Pilihan pertama, mengembang. Pilihan kedua adalah kebalikannya, yaitu mengerut.

Yang dimaksud dengan mengerut adalah memendekkan diri atau meringkel seperti janin dalam rahim yang menundukkan kepala ke bawah dan menekuk lutut ke atas. (Teolog/pedagogi Sherrill dijelaskan di Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek PAK II dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia oleh Robert Boehlke)

Di STT Jakarta, untuk mudahnya, setiap kali menjelaskan teori Sherrill saya menyebutnya "Teori Meringkel". Sherrill dalam buku The Struggle of the Soul menulis, "Three ways are open in periods of crisis: to go forward beyond the stages which one has already reached, or to stay where one is, or to retreat to a still earlier and lower stage Both the second and the third of these, staying or retreating, are a shrinking back."

Teori Shernil itu dibuat berdasarkan konsep upostello di Surat Ibrani. Surat ini menunjukkan bahwa hidup adalah deretan krisis dan ternyata manusia selalu gagal menghadapi krisis itu. Menurut Surat Ibrani, yang bisa membela hanyalah Kristus, sebab la bukan saja imam yang mempersembahkan kurban, melainkan la sendiri menjadi kurban

itu Lalu, Surat Ibrani menguatkan pembacanya, "Tetapi kita bukanlah orang-orang yang mengundurkan diri dan binasa, tetapi orang-orang yang percaya dan yang beroleh hidup" (10:39).

Ayat itu mempertentangkan upostoles eis apoleian (mengerut sehingga jadi binasa) lawan pisteos eis peripoiesin psukhes (beriman sehingga memperoleh hidup). Di Alkitab kita terjemahannya, 'mengundurkan diri Alternatifnya adalah 'mengerut' atau 'meringkel' (bnd RSV, shrink back).

Jadi, dalam tiap krisis kita dihadapkan pada pilihan. Apakah kita memilih agar kepribadian dan iman kita mengembang, ataukah sebaliknya, yaitu mengerut dan meringkel.

Dulu pada saat berusia enam tahun, kepribadian kita kerdil. Cuma mikinn din sendin. Mau menang sendiri. Mau untung sendiri. Apatis terhadap teman di sekitar kita. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah jika sekarang pun kita masih berkepribadian seperti begitu.

Kita mengenang masa kecil. Mensyukuri apa yang telah kita raih. Dulu kita belum tahu apa-apa, belum mengerti apa-apa, belum bisa apa-apa. Padahal sekarang kita sudah "jadi orang". Itu kemajuan lahiriah. Bagaimana dengan kemajuan batiniah, yaitu kepribadian dan iman? Apa kemajuannya?

Bernostalgia tentang masa kecil memang menarik. Dulu kita belajar menulis huruf demi huruf. Salah sedikit, langsung dimarahi oleh juffrouw. Hampir tiap hari saya dimaki, "Hong An, domme koe!" Bagaimana perasaan saya dulu ketika diomeli begitu? Saya jengkel! Benci! Keki! Mangkel! Dongkol! Gondok! Sebal!

Akan tetapi, sekarang bila bernostalgia tentang masa dulu itu, saya seolah-olah merasa ingin lagi diomeli seperti itu. Maka, sekarang setiap kali saya salah tulis, salah kutip, atau salah catat, saya langsung mengomeli diri sendiri, "Hong An, domme koe!"