SIAPA YANG TIDAK PERNAH LETIH?

SIAPA YANG TIDAK PERNAH LETIH?

 

Siapa yang tidak pernah letih? Apa pun istilahnya, entah capek lelah, penat, payah, pokoknya energi habis terkuras.

Yang letih itu sebetulnya mental ataukah fisik kita? Kadang-kadang kita membedakannya. Misalnya kita berkata, "Tadi aku senang berolah raga selama satu jam. Badan capek. Tapi pikiran jadi segar." Kesan kita itu benar, namun sebetulnya yang letih adalah keseluruhan diri kita.

Tiap hari kita melakukan kegiatan mental yang menyangkut pikiran, perasaan, batin, atau watak. Selain itu juga kegiatan fisik yang menyangkut badan dan tenaga. Kedua jenis kegiatan itu berbeda, namun sebetulnya tidak terpisahkan sebab diri kita merupakan satu keutuhan.

 Kita bekerja sepanjang hari mengurus anak dan rumah tangga. Seluruh diri kita jadi letih. Kita terjebak kemacetan lalu lintas sehingga baru tiba di rumah pukul 9.00 malam, padahal biasanya pukul 7.00 malam. Seluruh diri kita letih.

Setiap hari selama beberapa jam saya berpikir sambil menghadapi buku dan kertas catatan. Saya tidak melakukan kegiatan fisik apa pun selain duduk Akan tetapi, seluruh diri saya jadi letih. Berpikir adalah pekerjaan yang sangat meletihkan.

Keletihan menjadi lebih terpicu jika kita dikejar waktu. Hanya tinggal setengah jam lagi makanan ini sudah harus selesai dimasak Hanya tinggal dua hari lagi laporan ini sudah harus beres. Kita jadi tegang. Akibatnya, kita tambah letih.

Sebenarnya, semua jenis pekerjaan ada tekanannya. Kita semua bekerja di bawah tekanan. Kalau bukan tekanan waktu, pasti ada tekanan mutu. Bukankah kita mau menghasilkan pekerjaan yang bermutu? Masakan kita bekerja dengan sikap, "Bagaimana nanti saja, tak soal apa tuntas apa tidak, tak soal apa mutunya bagus atau jelek, tak soal apa hasilnya rapi atau banyak salahnya." Serendah itukah konsep diri kita?

Tekanan dan ketegangan yang diakibatkannya selalu ada dalam hidup dan kerja kita. Yang perlu kita pertimbangkan bukanlah bagaimana kiat menghindarkan diri dari tekanan dan ketegangan, melainkan bagaimana menjalani dan mengatasinya.

Seorang pemazmur yang tidak diketahui nama dan zamannya, mungkin seorang berkedudukan tinggi yang dikelilingi banyak pembenci, mengatasi tekanan dari ketegangan pekerjaannya dengan berdiam diri di hadapan Allah. Ia mengaku, "Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab daripada-Nyalah harapanku" (Mzm. 62:6). Kata tenang itu dalam bahasa aslinya mengandung arti 'berfokus kepada Allah dengan cara mendiamkan diri'. la berbuat begitu karena yakin bahwa Allah adalah "harapan... gunung batu... benteng .... tempat perlindungan" (ay. 6-9)

Mendiamkan diri seperti itu untuk mudahnya bisa kita sebut beristirahat. Namun, yang dimaksud di sini bukan istirahat dalam arti bersantai, bermalas-malas, atau tidur-tiduran. Yang dimaksud adalah mendiamkan mental dan fisik kita untuk merasakan kehadiran Allah.

Cara dan saatnya tergantung diri kita masing-masing. Pokoknya, pada saat kita uring-uringan atau marah-marah karena tegang, gugup, dan sibuk, kita justru mendiamkan diri, misalnya pergi ke pojok seorang diri. Amati sekuntum bunga atau sepucuk daun. Rasakan kehadiran Allah yang membuat dan membarui tiap helai bunga atau daun-daun cukup tiga atau empat menit. Kita istirahatkan mental dan fisik kita Kita memfokuskan diri kepada Allah. Kita menghubungi Sang Sumber Kekuatan yang Lebih Tinggi

Kita begitu ingin menghasilkan yang terbaik. Oleh sebab itu, kita jadi letih. Mungkin kita berpikir, alangkah enaknya kalau kita bebas dari segala rasa letih sehingga selama 24 jam kita terus-menerus bugar Akan tetapi, rasa letih itu justru diperlukan sebagai peringatan supaya kita mengisi ulang baterai mental dan fisik kita. Dengan begitu, setia hari kita membarui diri.

Siapa yang tidak pernah letih? Yesus sendiri pun merasa letih. Tertulis, "Yesus sangat letih.." (Yoh 4:6). Terjemahan BIMK, "Yesus. lelah sekali" Perhatikan adverbia sangat dan sekali dalam ayat itu Jarang Alkitab memakai adverbia jenis kualitatif seperti itu, karena dalam narasi, penggunaan adverbia kualitatif perlu dihindari. Di sini penulis Alkitab memperlihatkan derajat keletihan Yesus

Oleh karena itu Yesus tahu bahwa kita pun letih. Pernah Yesus bersama para rasul-Nya begitu sibuk karena menghadapi khalayak ramai Yesus dan para rasul-Nya menjadi letih. Lalu Yesus mengajak para rasul-Nya untuk beristirahat

Jika seandainya pada saat itu kita berada di antara para rasul, Yesus pun tentu akan menyuruh kita ikut beristirahat Sambil menatap kita Yesus akan mengajak, "Marilah ke tempat yang sunyi supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika" (Mrk. 6:31).

AWAM DAN PENDETA

AWAM DAN PENDETA

 


Setiap kali terjadi peneguhan jabatan dalam gereja, entah itu jabatan guru Sekolah Minggu atau penyanyi paduan suara, kita patut bertanya apa sebetulnya arti jabatan gerejawi dan bagaimana nisbah jabatan yang satu dengan yang lain.

Tentunya pertanyaan itu sudah mulai dipikirkan ketika gereja baru terbentuk pada abad ke-1. Akan tetapi, tidak banyak catatan yang kita punyai dari zaman itu. Catatan yang kini kita punyai berasal dari zaman Reformasi Gereja pada abad ke-16.

Ketika itu Martin Luther di Erfurt menggumuli nisbah antara jabatan rohaniwan (selanjutnya pendeta) dan jabatan warga gereja (selanjutnya: awam). Ia mempertanyakan keabsahan susunan tingkat antara pendeta dan awam yang berakibat bahwa pendeta mempunyai wewenang keimaman.

Menurut Luther, keadaan itu tidak sejiwa dengan gereja abad ke-1 yang menulis, "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri, supaya kamu..." (1Ptr. 2.9, TB2), Terjemahan BIMK, "Tetapi kalian adalah bangsa yang terpilih, imam imam yang melayani raja, bangsa yang kudus, khusus untuk Allah, umat Allah sendiri. Allah memilih kalian..."

Mengomentari ayat itu Luther menulis, "Kita semua adalah imam imam yang ditahbis melalui baptisan." Di buku lain ia juga menulis, "Tidak ada perbedaan mendasar antara orang awam dan pendeta, pangeran dan uskup, pekerjaan religius dan pekerjaan sekuler, kecuali untuk pelaksanaan tugas, tetapi tidak untuk status."

Sekitar dua puluh tahun kemudian di Jenewa, Johanes Calvin menggarisbawahi pergumulan Luther itu. Calvin juga mengacu pada jabatan imam yang diberikan kepada tiap orang percaya sebagaimana ditulis di 1 Petrus 2:9.

Tulis Calvin, "Jabatan imam adalah milik Kristus sendiri... kita ti dak mempunyai akses kepada Allah kecuali jika Kristus sebagai Imam Besar... memberikan kepada kita anugerah itu ..."

Jadi, meskipun menggunakan ayat yang sama dengan Luther namun menurut Calvin dasar teologis keimaman orang awam bukanlah atas dasar baptisan seperti diyakini Luther, melainkan atas dasar anugerah.

Supaya tidak menimbulkan salah paham, Calvin menegaskan bahwa jabatan imam yang adalah milik Kristus itu dikomunikasikan bukan kepada kita sebagai individu, melainkan kepada kita sebagai persekutuan orang percaya. Tulis Calvin, "Semua orang percaya, termasuk yang berprofesi sekuler pun adalah hamba Allah dan imam yang melayani Allah serta melayani orang lain. Yang disebut hamba Tuhan bukanlah hanya mereka yang bertugas gerejawi, melainkan juga yang bertugas duniawi. Panggilan Tuhan bukan hanya berlaku bagi jabatan pendeta, melainkan bagi segala mata pencarian."

Argumen Luther dan Calvin tentang jabatan imam yang berlaku secara umum itu terkesan meyakinkan untuk dilaksanakan. Akan tetapi, pelaksanaannya ternyata tidak mudah. Yang dikutip tadi hanya dua penggalan tulisan Luther dan dua penggalan tulisan Calvin. Padahal baik Luther maupun Calvin banyak menulis tentang imamat umum ini.

Apakah Luther dan Calvin konsisten tentang imamat umum ini dalam tiap tulisannya? Tidak! Tidak ada pemikir yang selalu konsisten dengan pemikirannya selama beberapa dasawarsa. Ada banyak tan tangan baru yang menuntut pemikir itu berpikir ulang. Luther menghadapi sejumlah tantangan, antara lain sekelompok pengikutnya yang menafsirkan ajaran imamat umum itu secara radikal. Misalnya, dalam peristiwa Pemberontakan Petani pada tahun 1522-1525 di Wittenberg di bawah pimpinan teolog terkemuka Andreas Karlstadt yang menuntut penghapusan jabatan pendeta.

Apakah kini, lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, nisbah awam dan pendeta sudah kembali ke jiwa Gereja Perdana? Belum! Memang tema kemitraan awam dan pendeta sering diperdengarkan, misalnya dalam ibadah peneguhan atau persidangan gerejawi, namun sering itu hanya sebatas wacana.

Bagaimana halnya di kalangan Dewan Gereja se-Dunia (DGD)? Buku Awam dan Pendeta - Mitra Membina Gereja karangan Andar Ismail terbitan BPK Gunung Mulia menelusuri pemikiran DGD antara tahun 1948 sampai 1983, dan menyimpulkan temuan adanya sejumlah kemajuan, namun sekaligus sejumlah kemunduran.

Kini lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, malah dalam hal hal tertentu justru Gereja Katolik lebih reformatoris ketimbang Gereja Reformasi. Ambillah contoh di bidang liturgi dan pakaian liturgis. Pernah saya mengikuti misa di Katedral Utrecht dengan pengkhotbah yang mengenakan T-shirt bertulisan: Kijk Omhoog, yang sangat menopang tema ibadah, yang liturginya bersih dari jargon-jargon Latin atau Yunani. Sebaliknya, di Indonesia malah ada pendeta gereja berpaham reformasi, termasuk Gereja Pentakosta dan Kharismatik, namun gemar mengenakan jubah, stola, krusifiks, dan collar. Seandainya Luther dan Calvin kini bangkit kembali dan menghadiri ibadah kita, mungkin mereka akan bingung alias liyeur.

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

MEMBARUI HUBUNGAN MENANTU-MERTUA

 

Perang dingin yang sering terjadi dalam keluarga adalah antara menantu perempuan dan ibu mertua. Golongan usia yang rawan adalah 30-40 tahun pada menantu dan 60-70 tahun pada mertua. Begitulah pengamatan saya sebagai pendeta GKI Samanhudi.

 Dari mana saya mendapat informasi adanya konflik itu? Pihak mana yang melaporkan? Biasanya pihak ibu mertua. Kadang-kadang ada juga dari pihak menantu.

Apakah saya langsung mempertemukan kedua pihak yang berselisih itu? O, tidak! Tentu tidak! Bukan begitu caranya. Cara begitu malah akan mempertajam konflik sebab pihak terlapor pasti akan merasa dipermalukan oleh pihak pelapor.

Lagi pula kalau begitu caranya bisa jadi perang dingin akan meletus menjadi perang terbuka. Nah, mana sanggup saya melerai seorang menantu yang sewot dan seorang mertua yang senewen? Bisa-bisa malah saya dicakar dari kiri dan kanan.

Lalu bagaimana caranya? Apa pendekatan saya saat pertama kali menjumpai pihak terlapor?

Sebetulnya, dari sepuluh kasus konflik keluarga, tidak lebih dari satu yang dilaporkan. Sisanya muncul tersirat atau terdeteksi dalam percakapan biasa. Keluarga cenderung enggan melaporkannya sebab menepuk air di dulang akan memercik muka sendiri.

Tentu saja bentuk, isi persoalan, dan intensitas tiap konflik berbeda. Akan tetapi, polanya hampir serupa.

Ini lebih kurang keluhan seorang mertua, "Pak Andar sendiri pernah bilang, anak saya sifatnya fleksibel dan gampang cocok dengan siapa saja selama jadi majelis gereja. Tapi dia terlalu takut pada istrinya. Mau datang ke rumah saya, mesti lapor kepada istri. Mau membelikan sesuatu untuk saya mesti minta izin istri. Menantu saya itu enggak ketulungan judesnya. Ia enggak pernah manis kepada saya. Selalu ketus. Saya enggak dapat perhatian. Saya enggak dihargai."

Sekarang kita dengar keluhan pihak menantu, "Tiap kali bertemu Pak Andar di gereja, Mami langsung ramah dan manis banget. Mami ketawa-ketawa. Padahal di rumah ia diktator galak seperti Queen Victoria atau Margareth Thatcher. Bicaranya selalu ketus. Ketika kami baru menikah, ia menghargai saya. Akan tetapi, sesudah itu ia super judes. Tak pernah ia ramah pada saya. Saya capek-capek masak lalu membawanya ke rumah Mami, tetapi jangankan memuji prakarsa saya, bilang terima kasih pun tak pernah. Ia tak pernah memperhatikan perasaan saya."

Demikian lebih kurang keluhan mertua dan menantu. Sekarang mari kita bandingkan kedua keluhan itu. Silakan baca ulang. Isinya tentu berbeda. Namun, apakah Anda juga menemukan sejumlah persamaan? Sebetulnya, inti atau substansi kedua keluhan itu sama.

Apa persamaannya? Baik mertua maupun menantu merasa: aku kurang dihargai, aku kurang diperhatikan, aku diperlakukan ketus dan kasar, aku diperlakukan kurang ramah, aku diperlakukan kurang baik, aku kurang disayang.

Kedua orang itu sama perasaannya: merasa kurang. Kurang! Mertua mengeluh, "Menantu saya kurang menghargai saya." Menantu mengeluh, "Mami kurang menghargai saya." Sami mawon!

Itulah penyebab rusaknya hubungan antar-orang. Suami merasa kurang diperhatikan istri, istri merasa kurang diperhatikan suami Begitu juga karyawan dan majikan. Tetangga dan tetangga. Kita merasa kurang dihargai oleh tetangga. Itu penilaian diri kita.

Kita adalah orang yang kurang dihargai. Akibat konsep diri seperti itu, kita merasa jengkel kepada dia. Makin lama kita makin jengkel.

Kita rugi sendiri. Cobalah untuk mengganti dan membarui konsep diri kita. Ganti konsep diri dari "Aku orang yang kurang dihargai", menjadi "Aku orang yang bisa menghargai". Lalu mulailah menghargai tetangga itu. Senyumlah kepadanya. Sapalah dia. Berilah perhatian ke padanya.

Apa yang akan terjadi? Sangat mungkin tetangga itu sedikit demi sedikit akan mulai memberi perhatian kepada kita. Oleh karena kita memberi perhatian, kita akan diberi perhatian. Yesus berkata, "Berilah dan kamu akan diberi..." (Luk. 6:38a).

Ucapan Yesus itu adalah pedoman untuk hubungan antar-orang, antargolongan, antarbangsa, antaragama, dan lainnya. Jika kita menghargai orang lain, orang itu akan menghargai kita. Simak logika Yesus untuk pedoman itu, "... sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (ay. 38c).

Mengapa ibu mertua tadi tidak diberi perlakuan manis? Oleh sebab ia sendiri pun tidak memberi perhatian manis. Mertua dan menantu itu setali tiga uang (lih. "Sebotol Racun Cinta" di Selamat Berkerabat).

Itulah pendekatan pedagogis saya dalam konflik menantu-mertua. Saya tidak menasihati, sebab dalam pedagogi tidak dipakai cara menasihati. Yang saya lakukan adalah memberdayakan orang itu untuk mengenali citra dirinya, yaitu bahwa ia sebetulnya adalah pribadi yang punya perhatian, namun belum memanfaatkan potensinya. Akibatnya, ia kurang memberi perhatian sehingga ia pun kurang diberi perhatiin.

Sebetulnya, cerita ini masih panjang. Ada satu pihak yang belum disebut padahal ia adalah korban yang hatinya paling terluka. Ia adalah sang putra. Dalam konflik ini ia jadi bumper yang babak belur ditabrak dari kiri dan kanan. la tulus mencintai ibunya dan tulus mencintai istrinya, namun justru karena ketulusannya ia disalahpahami oleh kedua belah pihak. Dengan simpati nanti saya akan menulis bab tersendiri.

Setelah menantu dan mertua itu mulai teduh, apakah saya mempertemukan mereka? Tidak! Tidak pernah! Pertama, karena proses pemulihan hubungan sebaiknya berlangsung alamiah antara yang bersangkutan. Kedua, karena pertemuan seperti itu mudah merosot menjadi seremoni, padahal yang perlu adalah diplomasi.

Bahkan, dalam banyak kasus pihak menantu tidak tahu bahwa selama beberapa bulan itu berkali-kali saya berkunjung ke mertua. Sebaliknya, mertua pun tidak tahu bahwa saya berkali-kali mengun jungi menantu.

Pada awal bab ini ada pertanyaan: Bagaimana caranya saya mendekati pihak terlapor? Pihak terlapor tidak boleh tahu bahwa ia dilaporkan sebab ia akan merasa dipermalukan. Lalu bagaimana caranya saya berkunjung berkali-kali tanpa dia tahu bahwa ia adalah terlapor?

Begini caranya. Saya berkunjung bukan sebagai pendeta, melainkan sebagai seekor kura-kura.

Kura-kura? Ya, sebagai kura-kura di pinggir perahu, alias ... pura-pura tidak tahu.

SEHELAI RUMPUT SEGAR

SEHELAI RUMPUT SEGAR

 

Binar mata Nasrudin menatapi keledai yang tertambat di halaman istana. Keledai itu kuat dan tegap. Kata orang ini keledai paling bagus di seluruh kerajaan. Inilah keledai yang akan dijadikan hadiah bagi pemenang lomba. Lombanya akan segera diumumkan raja. Betapa Nasrudin ingin menjadi pemenang lomba itu.

Terompet pun berbunyi. Raja bermaklumat, "Aku kecewa bahwa minat baca buku masih rendah. Oleh sebab itu, aku ingin agar keledaiku ini diajar membaca buku, sehingga orang yang malas baca buku jadi malu melihat keledai pun mau baca buku. Ini lombanya. Peserta lomba yang dalam satu bulan berhasil mengajar keledai ini membaca buku akan kuhadiahkan keledai ini. Akan tetapi, jika orang itu gagal ia akan dihukum kerja paksa selama satu tahun. Nah, siapa yang mau ikut lomba ini?"

Nasrudin dan ratusan orang lainnya di halaman istana tertunduk lesu. Siapa gerangan bisa mengajar keledai membaca? Mustahil! Tiba-tiba Nasrudin memecah kesunyian. Katanya, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya ikut lomba!"

Semua orang mencibirkan bibir. "Dasar Nasrudin bego! Mustahil lah mengajar keledai membacal Rasakan kerja paksa sepanjang tahun nanti!"

Sambil menarik tali keledai itu Nasrudin berjalan pulang. Mendekati rumah barulah ia sadar, "Apa yang harus kulakukan untuk membuat keledai ini mau membaca buku? Istriku saja tidak mau baca buku, apalagi keledai."

Siapa Nasrudin? la adalah tokoh separuh fiktif separuh faktual dalam ribuan cerita dari abad ke-14. Para pengarangnya tidak diketahui. Belasan negara mulai dari Turki terus ke Kazakstan sampai Provinsi Sin Kiang di Tiongkok mengklaim Nasrudin sebagai warisan budaya susastra mereka. Tiap cerita itu merupakan parodi dan satire yang mengandung sebuah kritik sosial. Pelaku utamanya Nasrudin yang dungu dan lugu, namun memegang kartu kebenaran (lih. "Lugu Bak Nasrudin" di Selamat Berkiprah).

Tidak ada cerita Nasrudin yang autentik. Semua cerita itu telah dimanipulasi oleh pengadopsi cerita sesuai dengan tujuan instruk sionalnya masing-masing, karena dalam sebuah cerita bisa terdapat belasan tema yang berbeda.

Sebentar akan kita lihat bahwa karangan ini bukan hanya berte ma minat baca buku, melainkan juga bertema bagaimana membuat orang jadi berminat membaca buku.

Masih tentang minat baca, pernah Eka Darmaputera dan saya mengadakan tiga survei kecil untuk sekitar 40 pendeta, 40 pengurus komisi/badan pembantu, dan 60 penatua pada tempat dan kesempatan yang berbeda. Tugas survei berbunyi, "Dari 10 isu ini, pilih 5 isu yar menurut Anda menjadi agenda Luther dan Calvin dalam Reformasi Gereja." Hasil survei menunjukkan bahwa isu "Pembenaran oleh Iman" dipilih oleh semua responden. Isu "Otoritas Alkitab" oleh banyak responden. Demikian juga isu "Sakramen". Akan tetapi, isu "Peran Baca untuk Iman" tidak dipilih oleh satu orang pun.

Angka berbicara. Dari sekitar 40 pendeta itu tidak ada seorang pun yang tahu bahwa pengadaan buku dan peningkatan minat baca buku umat merupakan salah satu agenda Reformasi Gereja yang diperjuangkan.

Padahal Luther memberikan begitu banyak waktu dan energi untuk mendorong umat membaca. Langkah pertama Luther adalah membuka akses umat untuk membaca Alkitab. Pada zaman itu Alkitab hanya bisa dibaca oleh rohaniwan sebab bahasanya adalah Latin Siang malam selama beberapa bulan Luther menerjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa nasional. Lalu ia dan kawan-kawan menulis buku-buku rohani untuk umat.

 Kepada para penulis itu Luther mewanti-wanti, "Jangan pakai bahasa Jerman-mu, tetapi pakailah bahasa Jerman umat. Pakai bahasa yang hidup dan jelas sehingga ibu-ibu di pasar pun bisa mengerti dan suka membaca tulisanmu!"

Ketika gereja Protestan semakin mewujud, Luther pun giat mena tar para pendeta dan mendorong mereka untuk tiap hari membaca buku. Akan tetapi, Luther frustrasi melihat betapa lambannya para pendeta itu. Luther mengomel, "Ada pendeta yang pada dasarnya malas ... mereka tidak berminat untuk membeli buku... walaupun memilikinya, mereka malas membacanya!"

Sementara itu, Gereja Katolik pun mulai lebih memperhatikan peran buku. Di tengah gencar-gencarnya gerakan reformasi Luther, pada tahun 1540, berdirilah Ordo Jesuit atas prakarsa Ignatius Loyola. Ordo ini banyak melakukan kaderisasi para calon cendekiawan melalui literatur.

Bukan hanya Luther yang mengomeli kemalasan baca buku. Yesus pun mengomel! Injil Matius mencatat bahwa Yesus pernah lima kali jengkel kepada para pemuka agama karena para pemuka agama itu belum membaca apa yang seyogyanya mereka baca. Omel Yesus, "Tidakkah kamu baca..." (12:5). Juga, "Tidakkah kamu baca bahwa ..." (19:4). Juga, "Belum pernahkah kamu baca..." (21:16). Pada ke sempatan lain juga, "Belum pernahkah kamu baca dalam ..." (21:42). Juga, "Tidakkah kamu baca apa yang ..." (22:31).

Luther mengomel. Yesus mengomel. Raja kita pun mengomel. Oleh sebab itu, raja ingin agar ada orang yang bisa mengajar kele dainya membaca buku. Raja ingin menyindir orang yang malas baca buku. Raja ingin berkata, "Lihat, keledai saja mau baca buku, masakan Anda cuma main internetan!"

Maka, pada hari terakhir lomba itu halaman istana sudah dike rumuni orang. Semua orang ingin melihat apa yang terjadi dengan Nasrudin.

Dengan langkah gugup Nasrudin menuntun keledai itu ke tengah lapangan. Lalu seorang pesuruh istana meletakkan sebuah buku di atas meja. Tebalnya sekitar seratus halaman. Bisakah buku itu dibaca oleh keledai?

Terompet berbunyi. Raja memberi aba-aba, "Mulai!" Keledai itu mengendus-ngendus buku dan menggoyang goyangkan lidahnya. Lalu dengan lidahnya yang terjulur panjang ia mulai membalik halaman pertama. Lalu halaman kedua. Lalu halaman ketiga. Halaman demi halaman dijilatnya dan dibalikkannya. Pada tiap halaman ia berhenti sejenak untuk menatap apa yang terdapat di situ. Lalu halaman berikutnya lagi. Sampailah ia pada halaman terakhir. Lalu ia meringkik nyaring! Hadirin bersorak girang sambil bertepuk tangan.

Raja terpana dan berdecak kagum. Lalu ia bertakrif, menya takan Nasrudin adalah pemenang. Ia berhak menerima keledai ini!" Nasrudin membungkuk, "Sahaya hatur syukur, Tuanku Baginda." la pun cepat-cepat menuntun keledainya pergi.

Akan tetapi, tiba-tiba raja bersabda, "Nasrudin! Tunggu dulu! Coba ceritakan apa rahasiamu sehingga keledai ini mau membaca buku?"

Nasrudin terkejut. Dengan tergagap ia menjawab, "Daulat Tuanku Baginda. Sahaya belajar dari tetangga saya. Tetangga sahaya itu tiap pagi pukul 4.00 sudah mulai menulis buku. la bekerja keras. Orangnya serius. Mukanya cemberut. Sifatnya eksen...!"

 Raja langsung membentak, "Aku tidak peduli tampang tetanggamu itu macam apa. Aku ingin tahu apa rahasianya sehingga keledar mau membaca buku!"

Nasrudin bertakzim, "Sahaya hunjuk ampun, Tuanku Baginda Maksud sahaya begini. Tetangga sahaya itu di STT Jakarta mengajar Ilmu Memadukan Rumput Segar dalam Bahan Ajar. Ia mempraktikkan ilmu itu dengan cara menulis buku Seri Selamat. Di tiap halaman bukunya ia memadukan sehelai rumput segar. Oleh sebab itu, Seri Selamat banyak pembacanya. Itulah juga yang sahaya lakukan dengan keledai ini. Sahaya meletakkan sehelai rumput segar di tiap halaman buku sebagai makanannya tiap hari sehingga keledai ini rajin membaca buku sebab ia ingin makan. Tuanku Baginda, tidak ada rahasia apa-apa. Hanya itu, hanya sehelai rumput segar!"

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

ALLAHMU BENTENG YANG TEGUH

Lagu ciptaan Martin Luther ini berbicara tentang sebuah benteng. Lebih tepat lagi, tentang Allah sebagai sebuah benteng. Benteng macam apakah yang dimaksud? Mengapa Allah diibaratkan sebagai sebuah benteng? Kita lihat dulu bait pertamanya di KJ 250:

Allahmu benteng yang teguh, perisai dan senjata; betapapun sengsaramu, pertolongan-Nya nyata! Si jahat yang geram berniat, 'kan menang; ngeri kuasanya dan tipu dayanya di bumi tak bertara.

Mungkin kita jarang melihat benteng, bahkan mungkin belum pernah. Mungkin yang tergambar di benak kita adalah tumpukan karung pasir tempat tentara berlindung. Atau, barangkali tembok beton tebal dengan meriam di belakangnya. Atau, barangkali tangsi militer.

Bukan itu yang dimaksud dalam lagu ini. Yang dimaksud oleh Luther adalah sebuah burg. Kalimat pertama lagu ini menurut kata kata Luther berbunyi, "Ein feste Burg ist unser Gott". Apa itu burg?

Sebuah burg adalah rumah sangat besar milik keluarga ningrat, bangsawan, atau keraton di Eropa. Jumlah kamar tidur dan ruang annya bisa puluhan bahkan ratusan. Ruang makannya saja ada banyak. Demikian pula ada ruang buku, ruang musik, dan banyak ruang pertemuan. Juga, ada ruang ibadah yang nilai arsitekturnya tak kalah indah dari sebuah katedral. Rumah besar itu tentu pula menampung puluhan pegawai, mulai dari para juru masak, pembantu, petugas kebersihan, pemelihara kandang kuda, tukang kebun, dan banyak lainnya. Sekian hektar tanah dan hutan di sekitar burg itu juga milik keluarga ningrat itu. Tinggi burg biasanya tiga atau empat lantai.

Dalam kamus kita burg diterjemahkan menjadi 'puri', 'kastil', atau 'istana berbenteng'.

Fungsi pertama sebuah puri adalah rumah tempat tinggal. Fungsi lainnya adalah tempat berlindung dari serangan musuh atau serbuan perampok. Oleh sebab itu, sebuah puri mempunyai sistem pertahanan dan perlindungan. Di atapnya terdapat beberapa menara pengintai dan tembok para pemanah. Biasanya sebuah puri dikelilingi oleh parit buatan selebar dua puluh meter dengan air yang dalam dan pagar di bawah air untuk mencegah para penyusup. Jembatannya bisa diangkat dan diturunkan.

Di Eropa Barat terdapat ribuan puri. Ada yang dibangun pada abad ke-9, seiring dengan timbulnya kelas ningrat yang menguasai rakyat. Tiap puri diberi nama, misalnya Hohensalzburg, Drachenburg, Neuschwanteinburg, dan lainnya. Oleh karena biaya pemeliharaannya yang mahal, sekarang kebanyakan puri dijadikan hotel, museum, sanatorium, atau panti wreda.

Itulah benteng yang dimaksud oleh Luther dalam lagu ini. Allah adalah benteng yang teguh. Luther mengajak kita berlindung di da lam benteng itu. Allah adalah "perisai dan senjata ... pertolongan-Nya nyata". Berlindung dari apa? Berlindung dari serbuan siapa? Berlindung dari "Si jahat yang geram... ngeri kuasanya dan tipu dayanya".

Bagaimana kita bisa yakin bahwa benteng ini ampuh dan teguh? Siapa yang menjamin bahwa kita akan terlindung secara aman? Luther menjawabnya di bait ke-2. "Pahlawan kita Dialah yang diurapi Allah. Siapa nama-Nya? Sang Kristus Mulia ...!

Perhatikan ragam kalimat tanya retorik itu. Tanya: Siapa nama pahlawan yang melindungi kita. Jawab: Sang Kristus. Ragam interogatif seperti itu banyak digunakan dalam pedagogi Sokrates (469-399 SM). Pendekatan itu pun dipakai oleh Luther dalam menulis Katekismus Besar dan Katekismus Kecil dan kemudian juga dalam Katekismus Heidelberg tulisan murid-murid Calvin (ketiga Katekismus itu pun diterbitkan BPK Gunung Mulia).

Kita berlindung di benteng yang bernama Allah dan pelindung kita adalah Kristus. Itulah tema pengakuan Luther dalam lagu ini.

Kata-kata Luther dalam lagu ini keluar dari pengalaman hidupnya. Selama sembilan bulan Luther pernah berlindung di sebuah benteng, yaitu di Puri Wartburg oleh karena Kaisar Karel V pada bulan Mei 1521 memvonis bahwa Luther boleh dibunuh oleh siapa saja (lih. "Luther Tertantang" di Selamat Membarui).

Demikian pula kata-kata dalam bait ke-3. Bunyinya, "Penuh pun setan dunia, yang mau menumpas kita. Jangan gentar melihatnya, iman tak sia-sia!" Kata-kata itu pun keluar dari pengalaman hidup Luther ketika umatnya melarang dia memenuhi panggilan pengadilan di Worms pada bulan April 1521 karena di Worms ada banyak orang yang mau membunuh Luther. Luther menguatkan umatnya, "Meski pun Worms penuh setan sebanyak genteng di atap yang mau menumpas aku, aku tidak gentar!"

Karya tulis yang baik adalah silang sumber antara pengalaman hidup dan literatur, dalam hal ini Alkitab. Begitu juga pengalaman hidup Luther dalam lirik lagu ini bersilang dengan Mazmur 46. Tertulis, "Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti ... kita tidak akan takut.. sekalipun gunung-gunung goyang... Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah... kota benteng kita ialah Allah Yakub."

Benteng yang dimaksud dalam Mazmur tentu berbeda dengan benteng dalam benak Luther. Benteng dalam Mazmur adalah tembok setinggi 60 meter setebal 5 meter di sekeliling kota. Benteng itu bukan rumah tinggal, melainkan tembok yang melindungi rumah-rumah di dalam kota. Namun, fungsinya sama, yaitu melindungi dari kejahatan.

Itulah pengakuan Luther. Ia mengajak kita menyanyi sambil mengaku bahwa Allah adalah penolong dan pelindung dari kejahatan
CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA

 


Baru saja ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal dunia. la pilu, dan kepiluan itu membekas pada dirinya seumur hidup. Pentingnya peran ibu tersirat dalam buku-buku teologinya. Anak piatu itu adalah Jean Chauvin atau Johanes Calvin (1509-1564). Hampir semua gereja Protestan di Indonesia, seperti GPIB, GKJ, GKP, GKI, GRII, GMIM, GMIT, dan lainnya adalah gereja Calvinis.

Sepeninggal ibunya, Calvin dititip pada sebuah keluarga ningrat. Ayahnya mengenal beberapa keluarga ningrat karena ia adalah penata usaha uskup. Asuhan yang diterima dalam keluarga ningrat ini mewarnai kepribadian Calvin seterusnya. la sangat mengutamakan perilaku sopan, prestasi unggul, dan perbuatan mulia, namun di lain pihak, ia kaku dalam pergaulan, menjaga jarak, dan menjauh dari khalayak ramai. Lagi pula ia memang berwatak pemurung dan cen derung bermuka masam.

Calvin disekolahkan oleh keluarga ningrat itu di sekolah yang paling bermutu di kota Noyon. Calvin selalu menjadi murid yang paling berprestasi. Tugas yang dikerjakan oleh murid lain dalam waktu satu jam diselesaikan Calvin dalam sepuluh menit. Ia tidak suka berbicara. Akan tetapi, jika ditanya ia selalu terbuka, "Aku anak piatu. Kakekku seorang tukang gentong kayu, ayahku pekerja tambang yang kini jadi juru tulis."

Pada usia 12 tahun Calvin pindah ke Paris dan bersekolah serta berasrama di College de la Marche dan College de la Montaigu yang didirikan oleh Geert Groote (1340-1384) filsuf Pendidikan Agama Kristen di Belanda (lih. "Masa Muda Martin Luther" di Selamat Membarui). Di sini Calvin berkenalan dengan humanisme, yaitu aliran yang mengutamakan bahasa-bahasa kuno Ibrani, Yunani, dan Latin untuk mempelajari susastra kuno (termasuk Alkitab!) dengan tujuan meningkatkan kemanusiaan yang beradab.

Menyelesaikan studi sampai tingkat magister di Montaigu itu, Calvin pada usia 18 tahun masuk sekolah hukum di Orleans dan Bourges. Dengan cepat ia menyusul kakak-kakak kelasnya, lalu pada usia 20 tahun ia mencapai gelar doktor hukum.

Minatnya pada susastra kuno membuat Calvin kembali ke Paris dan mempelajari buku-buku teologi dari abad permulaan. Calvin tidak pernah duduk di sekolah teologi, namun dari tangannya lahirlah buku-buku teologi yang berbobot.

Sementara itu, buku-buku tulisan para reformator gereja dari Jerman secara sembunyi-sembunyi beredar di kalangan cendekiawan Paris. Gerakan reformasi belum terbuka di Prancis, sebab Raja Francois I membenci gerakan reformasi. Calvin menyaksikan seorang biarawan dibakar hidup-hidup akibat bersimpati pada "bidat Luther".

Calvin bergumul dalam menentukan arah keyakinannya. Ia dididik oleh ibunya untuk mencintai gereja, namun ia melihat banyak praktik buruk para rohaniwan. Ia tahu betul bahwa gerakan reformasi sesuai dengan Perjanjian Baru yang dipelajarinya, namun ia tidak ingin meninggalkan Gereja Katolik yang dicintainya sebagai ibunya sendiri. Tulisnya, "... hatiku tidak bisa tenteram... ajaran baru itu membawa kami kembali ke sumbernya yang asli dan mengembalikan ajaran Alkitab yang murni... namun, di lain pihak, aku benci pada hal-hal yang baru itu... akan tetapi, akhirnya Allah menunjukkan hatiku pada kepatuhan,"

 Bagi Calvin pertobatan bukanlah prestasi atau jasa manusia, melainkan pemberian atau karunia dari Allah. Ia mengacu ke ucapan Kristus, "Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya" (Yoh. 6:65).

 Begitulah ketika Luther sudah lebih dari 15 tahun menjalankan reformasinya, Calvin secara bertahap mulai menampakkan jiwa reformasi gereja dalam buku-bukunya.

 Ketika Calvin membantu menyusun pidato rektor Universitas Paris yang mengecam keburukan gereja, Raja Francois I berang. Nyawa Calvin terancam. la melarikan diri ke Basel dan sepanjang umurnya ia tidak bisa kembali ke tanah airnya.

 Di Basel Calvin menulis buku-buku reformasi. Secara bertahap, ia menulis buku-buku tipis. Kelak buku-buku ini terkumpul menjadi empat jilid setebal lebih dari 2.000 halaman yang berjudul Institutio, yang merupakan buku dogmatik Protestan yang banyak diacu. Beberapa bagian terpilih dari buku itu diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.

Menarik bahwa kalimat pertama buku itu berbunyi, "Dipersem bahkan kepada Raja Francois I... Pelindung Gereja Kristen". Akan tetapi, sang pelindung ini memerintahkan agar semua buku ini disita dan dibakar.