CALVIN: ANAK PIATU JADI PEMBARU GEREJA
Baru saja ia berumur tiga tahun, ibunya meninggal dunia. la pilu, dan kepiluan itu membekas pada dirinya seumur hidup. Pentingnya peran ibu tersirat dalam buku-buku teologinya. Anak piatu itu adalah Jean Chauvin atau Johanes Calvin (1509-1564). Hampir semua gereja Protestan di Indonesia, seperti GPIB, GKJ, GKP, GKI, GRII, GMIM, GMIT, dan lainnya adalah gereja Calvinis.
Sepeninggal ibunya, Calvin dititip pada sebuah keluarga ningrat. Ayahnya mengenal beberapa keluarga ningrat karena ia adalah penata usaha uskup. Asuhan yang diterima dalam keluarga ningrat ini mewarnai kepribadian Calvin seterusnya. la sangat mengutamakan perilaku sopan, prestasi unggul, dan perbuatan mulia, namun di lain pihak, ia kaku dalam pergaulan, menjaga jarak, dan menjauh dari khalayak ramai. Lagi pula ia memang berwatak pemurung dan cen derung bermuka masam.
Calvin disekolahkan oleh keluarga ningrat itu di sekolah yang paling bermutu di kota Noyon. Calvin selalu menjadi murid yang paling berprestasi. Tugas yang dikerjakan oleh murid lain dalam waktu satu jam diselesaikan Calvin dalam sepuluh menit. Ia tidak suka berbicara. Akan tetapi, jika ditanya ia selalu terbuka, "Aku anak piatu. Kakekku seorang tukang gentong kayu, ayahku pekerja tambang yang kini jadi juru tulis."
Pada usia 12 tahun Calvin pindah ke Paris dan bersekolah serta berasrama di College de la Marche dan College de la Montaigu yang didirikan oleh Geert Groote (1340-1384) filsuf Pendidikan Agama Kristen di Belanda (lih. "Masa Muda Martin Luther" di Selamat Membarui). Di sini Calvin berkenalan dengan humanisme, yaitu aliran yang mengutamakan bahasa-bahasa kuno Ibrani, Yunani, dan Latin untuk mempelajari susastra kuno (termasuk Alkitab!) dengan tujuan meningkatkan kemanusiaan yang beradab.
Menyelesaikan studi sampai tingkat magister di Montaigu itu, Calvin pada usia 18 tahun masuk sekolah hukum di Orleans dan Bourges. Dengan cepat ia menyusul kakak-kakak kelasnya, lalu pada usia 20 tahun ia mencapai gelar doktor hukum.
Minatnya pada susastra kuno membuat Calvin kembali ke Paris dan mempelajari buku-buku teologi dari abad permulaan. Calvin tidak pernah duduk di sekolah teologi, namun dari tangannya lahirlah buku-buku teologi yang berbobot.
Sementara itu, buku-buku tulisan para reformator gereja dari Jerman secara sembunyi-sembunyi beredar di kalangan cendekiawan Paris. Gerakan reformasi belum terbuka di Prancis, sebab Raja Francois I membenci gerakan reformasi. Calvin menyaksikan seorang biarawan dibakar hidup-hidup akibat bersimpati pada "bidat Luther".
Calvin bergumul dalam menentukan arah keyakinannya. Ia dididik oleh ibunya untuk mencintai gereja, namun ia melihat banyak praktik buruk para rohaniwan. Ia tahu betul bahwa gerakan reformasi sesuai dengan Perjanjian Baru yang dipelajarinya, namun ia tidak ingin meninggalkan Gereja Katolik yang dicintainya sebagai ibunya sendiri. Tulisnya, "... hatiku tidak bisa tenteram... ajaran baru itu membawa kami kembali ke sumbernya yang asli dan mengembalikan ajaran Alkitab yang murni... namun, di lain pihak, aku benci pada hal-hal yang baru itu... akan tetapi, akhirnya Allah menunjukkan hatiku pada kepatuhan,"
Bagi Calvin pertobatan bukanlah prestasi atau jasa manusia, melainkan pemberian atau karunia dari Allah. Ia mengacu ke ucapan Kristus, "Tidak ada seorang pun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya" (Yoh. 6:65).
Begitulah ketika Luther sudah lebih dari 15 tahun menjalankan reformasinya, Calvin secara bertahap mulai menampakkan jiwa reformasi gereja dalam buku-bukunya.
Ketika Calvin membantu menyusun pidato rektor Universitas Paris yang mengecam keburukan gereja, Raja Francois I berang. Nyawa Calvin terancam. la melarikan diri ke Basel dan sepanjang umurnya ia tidak bisa kembali ke tanah airnya.
Di Basel Calvin menulis buku-buku reformasi. Secara bertahap, ia menulis buku-buku tipis. Kelak buku-buku ini terkumpul menjadi empat jilid setebal lebih dari 2.000 halaman yang berjudul Institutio, yang merupakan buku dogmatik Protestan yang banyak diacu. Beberapa bagian terpilih dari buku itu diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia.
Menarik bahwa kalimat pertama buku itu berbunyi, "Dipersem bahkan kepada Raja Francois I... Pelindung Gereja Kristen". Akan tetapi, sang pelindung ini memerintahkan agar semua buku ini disita dan dibakar.