MEMBARUI SADAR KEMATIAN
Setiap mengakhiri salat, saya senantiasa menengok ke kanan dan ke kiri sambil mengucapkan salam, antara lain kepada malaikat Izrail. Semoga suatu saat ketika tiba waktunya menjemput roh saya, dia akan melakukannya dengan bersahabat." Demikian tulis Komaruddin Hidayat, rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah.
Itu sebuah contoh tentang sadar kematian, yaitu sikap siuman bahwa kematian sungguh nyata untuk kita. Salam yang diucapkan oleh Komaruddin kepada malaikat Izrail itu adalah, "Assalamu'alaikum, ya Izrail. Di tanganmu sudah ada jadwal kapan kematian saya. Ya Izrail, doakan aku semoga bisa mengisi lembaran hidupku dengan cerita yang indah ... ? demikian tulis Komaruddin dalam bukunya berjudul Psikologi Kematian.
Sadar kematian sungguh berbeda dengan tahu tentang kematian. Kalau tahu, tiap orang pun tahu bahwa suatu waktu nanti ia akan meninggal. Tidak ada orang yang tidak tahu bahwa ia akan mati.
Sadar kematian juga bukan keinginan cepat-cepat meninggal dunia. Juga, bukan suka mikirin dan ngomongin kematian. Juga, bukan kecenderungan bunuh diri. Juga, bukan firasat, perasaan, atau perkiraan akan meninggal.
Apakah sadar kematian sama dengan naluri kematian dan naluri kehidupan? Ya dan tidak. Keduanya memang bertumpang tindih dalam beberapa hal, namun juga berbeda dalam hal lain (lih. "Naluri Kematian" di Selamat Berjuang).
Untuk memudahkan, mari kita lihat pengertian sadar dalam ungkapan sadar budaya dan sadar lingkungan. Jika sadar budaya, maka kita berperilaku secara berbudi dan beradab, dan menempatkan diri dalam tata krama yang berlaku. Jika sadar lingkungan, maka kita tidak akan merusak, mematikan, atau mengotori lingkungan, tetapi justru menjaga dan melestarikan lingkungan supaya bersih, sehat, dan asri.
Sadar kematian adalah jujur terhadap diri sendiri dan mau berpikir tentang kematian, mau membaca perenungan tentang kematian, dan mau membicarakan kematian.
Sadar kematian adalah sikap engah bahwa maut bisa merenggut nyawa bukan hanya mereka yang sakit dan renta, melainkan juga beli yang segar bugar dan muda belia.
Sadar kematian adalah sikap realistis bahwa meskipun maut diharapkan masih jauh, namun dalam kenyataannya bisa berada begitu dekat dengan kita, baik di rumah maupun di luar rumah. Di Indonesia tiap hari rata-rata 80 orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas.
Sadar kematian adalah sikap antisipatif terhadap dampak ke matian yang secara drastis akan merenggut segala sesuatu yang ada pada kita: keluarga, teman, rumah, pekerjaan, dan segala sesuatu.
Sadar kematian adalah sikap celik terhadap arti kehidupan. Hidup punya arti yang sungguh luhur. Kita diberi hidup supaya saling hidup dengan orang lain, yaitu saling menghargai dan saling membantu, bukan saling cuek, benci, dan dengki.
Sadar kematian adalah sikap siuman bahwa kita harus mempertanggungjawabkan kepada Sang Pemberi Hidup apa yang telah kita perbuat dengan dan di dalam hidup ini.
Jangan-jangan berbagai rumusan saya malah membuat penje lasan menjadi semakin tidak jelas. Oleh sebab itu, baiklah sekarang kita meringkaskannya. Seorang pemazmur meringkaskannya dalam doa, "Sadarkanlah kami akan singkatnya hidup ini supaya kami menjadi orang yang berbudi" (Mzm. 90:12, BIMK). Menurut teks TB, "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga beroleh hati yang bijaksana."
Itu dia. Orang yang sadar kematian adalah orang yang bijaksana atau berbudi. Dalam nyanyian paduan suara ciptaan Johann Sebastian Bach (1685-1750) ada kalimat, "Ach, Herr, lehre uns bedenken das wir sterben mussen, auf das wir klug werden." Klug berarti 'bijaksana', hati-hati", "tahu diri', 'penuh pertimbangan', 'bertenggang rasa".
Selama menjadi pendeta GKI Samanhudi saya mengamati tingkat sadar kematian umat dewasa dan lansia. Tingkatannya ternyata rendah. Umat cenderung enggan berpikir dan berbicara tentang kematian. Tentu mereka tahu bahwa maut itu dekat, namun mereka pura-pura tidak tahu. Seorang kakek dari pembaringannya masih mengatur perusahaan. Seorang nenek masih bernada benci terhadap suaminya yang sudah meninggal sepuluh tahun. Ada yang belum mau memaafkan dan belum mau minta maaf. Ada yang terkesan kurang merasa perlu ikut berdoa pada saat saya berdoa dengan dia. Ada yang terkesan mempersalahkan masa lalunya dan masih marah kepada dirinya sendiri (lih. "Bersiaplah Bertemu dengan Allahmu" di Selamat Panjang Umur, dan "Memento Mori", "Seorang Musuh" di Selamat Mewaris).
Sebaliknya, di antara umat GKI ada pula yang tinggi sadar kematian. Ada yang sudah berpesan minta lagu tertentu untuk pemakamannya. Ada ibu sudah memisahkan kain dan kebaya yang ingin dikenakannya pada waktu dunia. Seorang ibu setiap kali saya berkunjung tersenyum lemah dan berlirih, "Pendeta Andar, sebentar waktu berdoa, jangan minta Tuhan sembuhkan saya. Saya sudah menunggu dipanggil pulang." Seorang penatua sering mengingatkan, "Wewenang kita hanya tinggal beberapa tahun lagi, apakah keputusan kita ini akan dinilai bijak oleh Majelis Gereja angkatan berikut?"
Selama menjadi pendeta saya juga mengamati bahwa umat yang semasa hidupnya berwatak ramah, akur, dan suka menolong, biasanya menghadapi ajal dengan tenang. Sebaliknya, umat yang suka bertengkar dan benci sana-sini biasanya terguncang dan berontak pada saat ajalnya. Temuan ini sejalan dengan dalil-dalil psikologi dan pedagogi orang dewasa.
Dari uraian itu tampak bahwa sadar kematian diperlukan bukan hanya nanti menjelang kematian, melainkan justru sejak sekarang. Sadar kematian justru berurusan dengan hidup kita sekarang, yaitu bagaimana kita menyikapi hidup. Apakah kita menyia-nyiakan atau membuahkan masa hidup, apakah kita mengisi hidup dengan serakah dan benci ataukah dengan murah hati dan cinta sayang. Oleh sebab itu, sadar kematian perlu kita perbarui tiap hari.
Demikian juga, sadar kematian bukan hanya urusan dengan Tuhan secara vertikal, melainkan juga urusan dengan orang sekitar secara horizontal. Sadar kematian menyangkut hubungan hidup. Sadar kematian berinti pemaafan dan pengampunan. Mau mengampuni dan minta diampuni. Bukan setahun sekali, melainkan setiap hari.
Sadar kematian adalah gaya hidup. Apakah kita mengumbar kehendak kita, ataukah kita belajar menempatkan segala kehendak kita di bawah kehendak Tuhan? Kehendak Tuhan sudah jelas, yaitu agar tiap hari kita mencintai Tuhan, orang lain, dan diri kita sendiri. Doa Kristus ini mengungkap sadar kematian-Nya, "... Jangan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi" (Luk. 22:42, TB2).