LUTHER TERTANTANG
Sebagai biarawan yang berdisiplin, Martin Luther tidak pernah meragukan ajaran resmi Gereja Katolik tentang pengampunan dosa. Keyakinan itu tetap ia pegang, juga setelah menulis buku Tafsiran Surat Roma yang memuat dalilnya bahwa kebenaran Allah berimplikasi Allah membenarkan atau membuat benar kita yang semula tidak benar. Pembenaran itu adalah rahmat atau anugerah Allah yang terwujud dalam penyaliban Kristus (lih. "Luther yang Terus Gelisah" di Selamat Membarui).
Akan tetapi, ajaran yang baku itu ternyata dipraktikkan berbeda di lapangan. Johan Tetzel, seorang kepala biara, mengajar bahwa pengampunan dari Allah bisa diperoleh jika kita mempersembahkan uang. Sebagai tanda terima pembayaran itu, Tetzel memberikan surat penghapusan siksa. Akibatnya, ada orang yang tidak merasa perlu bertobat dari dosanya karena sudah membayar surat penghapusan siksa. Ajaran Tetzel itu melecehkan hakikat ajaran baku gereja Katolik tentang sakramen pengampunan.
Luther menentang keras ajaran Tetzel dengan cara menempelkan 95 dalil di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Dalil ke-1 berbunyi, "Bila Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus berkata, "Bertobatlah...', maksudnya adalah agar segenap hidup kita meru. pakan pertobatan..."
Dengan dalil-dalilnya Luther bukan melawan ajaran Gereja Katolik malah membela. Yang dilawan adalah pelaksanaannya di lapangan.
Yang paling jengkel pada gerakan Luther ini adalah para penjual surat penghapusan siksa dan negara-negara bagian yang menerima setoran hasil penjualan. Pada zaman itu kekaisaran Jerman meliputi Austria, Swiss, Belanda, sebagian Prancis, dan terbagi atas negara negara bagian yang dikepalai oleh raja atau oleh uskup. Negara dan agama menjadi satu sehingga raja turut mengatur gereja dan uskup turut mengatur negara.
Untuk menjelaskan polemik ini Luther mengirim surat kepada Paus Leo X. Lalu Paus menetapkan agar Luther menghadap dewan hakim di Roma. Raja Friedrich menolak ketetapan Paus itu mengingat keamanan Luther tidak terjamin di Italia.
Sambil menunggu perkembangan lebih lanjut, Luther terus bekerja. la mempelajari sejarah jabatan-jabatan gerejawi dan menemukan bahwa pemahaman tentang peran umat dan pejabat gereja sudah jauh menyimpang dari jiwa gereja abad pertama. Ia menemukan bahwa para rohaniwan terlalu banyak mengumpulkan kekuasaan dan berpretensi tidak bisa bersalah, padahal sudah terbukti ada beberapa persidangan sinode atau konsili yang ternyata membuat keputusan keliru. Menurut Luther, patokan kita yang paling tinggi bukanlah peraturan gereja, melainkan firman Allah. Tulisan Luther mengenai hal ini menggoyang kedudukan para rohaniwan, termasuk Sri Paus.
Kemudian Paus mengirim dewan hakim ke Jerman untuk memeriksa Luther. Setelah berpolemik selama sekitar tiga tahun, Kaisar Karel V mengadakan sidang yang dihadiri oleh para kepala negara bagian yang anti Luther. Pada tanggal 26 Mei 1521 ditetapkan bahwa Luther dan tiap pengikut ajarannya dikutuk. Semua buku Luther harus dibakar. Luther dinyatakan berstatus vogel vry verklaard, yaitu boleh dianiaya dan dibunuh oleh siapa saja.
Pada malam itu, dalam perjalanan pulang, kereta Luther disergap gerombolan penculik. Luther dibawa masuk ke hutan. Para pengawal Luther tidak berdaya. Keesokan harinya tersiarlah berita bahwa Luther dibunuh dan mayatnya belum bisa ditemukan. Padahal, para penculik adalah suruhan Raja Friedrich yang melindungi Luther. Luther pun disembunyikan di Puri Wartburg di Eisenach.
Selama bersembunyi Luther terus bekerja keras. la menerjemahkan Alkitab dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Jerman sehari-hari. Sebelumnya, Alkitab hanya dicetak dalam bahasa Latin sehingga hanya para rohaniwan saja yang bisa membaca Alkitab. Padahal Luther ingin agar tiap orang termasuk para petani pun bisa mengerti dan menikmati Alkitab serta buku-buku renungan.
Kutuk yang ditetapkan oleh Kaisar Karel V berimplikasi bahwa gereja tidak memberi ruang lagi kepada Luther dan pengikutnya. Oleh sebab itu, sejumlah imam mulai mengadakan ibadah tersendiri yang lepas dari gereja. Yang mencolok berbeda adalah liturginya yang lebih mengikutsertakan partisipasi umat dan digantinya bahasa Latin dengan bahasa nasional. Umat menyambut pembaruan ini. Ini menjadi awal lahirnya persekutuan sebuah gereja yang baru yang terpisah dari Gereja Katolik. Itulah benih lahirnya Gereja Reformasi.
Belum lagi Gereja Reformasi ini berakar, ia sudah dirongrong dari dalam. Pada bulan Februari 1522 di Wittenberg sekelompok orang yang mengatasnamakan Gerakan Reformasi berpikir radikal dan bertindak biadab. Mereka menyerbu gereja-gereja Katolik dan merusak segala simbol Katolik seperti mezbah, salib, patung Kristus, dan lainnya.
Mendengar peristiwa ini Luther keluar dari persembunyiannya lalu menghardik kelompok radikal ini. Luther memarahi Karlstadt (guru besar universitas Wittenberg) yang memimpin kelompok radikal ini, "Kamu bodoh! Reformasi bukan membenci dan menghancurkan, melainkan memperbaiki dan membarui!"
Sejak itu Luther tidak bersembunyi lagi. Ternyata kutuk Kaisar Kare V sudah luntur wibawanya sebab kaisar sudah tidak bersahabat lag dengan Sri Paus. Lagi pula kaisar sedang bertikai urusan perbatasan dengan Prancis dan Turki.
Luther meneruskan gerakan pembaruannya dengan terus menulis Buku-bukunya membuka pikiran banyak orang. Ia diperbolehkan tinggal di biara. Pada usia 42 tahun ia menikah dengan Catharina von Bora dan mempunyai beberapa anak, Hanschen, Magdalena, Martin Paul, dan Margaretha. Untuk mengongkosi hidup, istrinya memelihara sapi dan menanam kentang. Istrinya menghiasi pintu gerbang rumahnya dengan ukiran "la hidup!" Juga ukiran "Dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu." Kedua kalimat itu dikutip dari Lukas 24:23 dan Yesaya 30:15. Sekarang tempat tinggal keluarga Luther itu menjadi museum di Wittenberg.
Luther meninggal pada usia 62 tahun. Sampai akhir hidupnya ia terus tertantang untuk mendidik gereja meninjau ulang dan membarui pola pikir tentang iman. Ribuan karya tulis diwariskannya kepada gereja. Ketika temannya memuji karya-karyanya, Luther menjawab dengan mata yang menerawang jauh, "Ini buah pendidikan dari ayahku yang keras waktu aku kecil".