JADI ORANG BERGUNA
Ketika berumur sekitar 6 tahun saya sering ikut ibu. Ibu sering memperkenalkan saya dengan bapak-bapak tertentu. Saya menyapa mereka dengan sebutan "om". Ada om yang merupakan kerabat dan ada pula om yang merupakan kenalan.
Pernah saya diajak ibu ke kantor kotapraja tempat orang membayar listrik, air, atau tagihan lain. Di situ berderet loket-loket dengan petunjuk berbahasa Belanda. Para petugasnya tampak berwibawa. Eh, ternyata ada seorang yang saya kenali. Saya kagum, "Hebat betul! Om itu bekerja di sini!"
Pernah juga kami masuk ke suatu kantor. Ada puluhan meja tulis penuh dengan tumpukan kertas. Banyak bapak sibuk mengetik dengan serius. Lho, itu kakak ibu! Saya takjub, "Luar biasa! Om itu pintar sekali!"
Apalagi di gereja. Tiap hari Minggu saya terkagum-kagum melihat om-om duduk di bangku paling depan. Mereka majelis gereja!
Pada tiap kesempatan seperti itu biasanya ibu berkata, "Om itu dari dulu kerja keras. Sekolahnya pintar. Sekarang om itu jadi orang berguna. Berguna untuk banyak orang." Meskipun kurang mengerti sepenuhnya, saya mengangguk angguk setiap kali mendengar penjelasan ibu. Ibu sedang menggam barkan om-om itu sebagai tokoh panutan untuk saya teladani. Istilah nya dalam ilmu pedagogi: tokoh identifikasi atau model identifikasi.
Timbullah suatu idealisme dalam diri saya. Kalau sudah besar nanti, saya ingin jadi seperti om itu. Saya ingin jadi "orang berguna untuk banyak orang".
Apakah ibu juga menunjukkan pendeta sebagai tokoh panutan? Ibu memang sering bercerita dengan nada kagum tentang pendeta kami. Apalagi kami akrab dengan keluarganya. Ibu sering diminta memasak di rumah mereka. Tiap kali saya ikut untuk menemani ibu berjalan pulang malam hari. Sambil menunggu saya bermain di rumah pendeta itu dengan putranya. Anak lain menyapa "Boksu (artinya, Pendeta) Gouw", sedangkan saya menggunakan sapaan akrab, yaitu "Om Gwan Yang".
Meskipun hubungan kami akrab, ibu tidak pernah menanamkan cita-cita pada diri saya untuk menjadi seperti Om Gwan Yang. Mungkin ibu merasa jabatan pendeta terlalu muluk untuk dijadikan cita-cita dan di mata saya juga terlalu tinggi untuk dijadikan idealisme.
Ada unsur lain lagi tiap kali ibu menunjukkan seorang om untuk saya kagumi. Ibu berkata, "Om A itu sekolahnya rajin. Dia tamat Lagere School (artinya, Sekolah Dasar)." Atau, ibu menegaskan, "Om B itu sekolahnya enggak main-main. Ia tamat MULO (artinya, SMP)."
Ibu menyanjung orang yang tamat SD, apalagi SMP. Maklumlah, ibu dan ayah tidak tamat SD. Dalam keluarga besar kami hanya ada dua orang yang disebut terpelajar, yaitu seorang tante lulusan Sekolah Pendidikan Guru dan seorang om lulusan Sekolah Menengah Farmasi.
Maksud petuah ibu jelas. Saya harus rajin di sekolah supaya jadi pandai. Kalau pandai nanti bisa menjadi orang berguna. Itulah idealisme saya: Menjadi pandai supaya menjadi orang berguna.
Akan tetapi, ketika mulai bersekolah idealisme itu langsung rontok. Ternyata saya murid bodoh. Meskipun berusaha sungguh-sungguh, saya tetap bodoh. Tiap pagi ada latihan mencongak. Guru bertanya. 14 x 18 =..." Langsung murid lain mengacungkan tangan, padahal saya masih terbingung-bingung. Begitu juga berhitung secara tertulis. Tiap hari ada pelajaran eksakta, dan hampir tiap hari di kelas saya dimaki, "Sapi bodoh!"
Akibatnya, tiap hari saya ketakutan. Idealisme saya adalah menjadi orang berguna. Untuk maksud itu, saya harus jadi pandai. Padahal ternyata saya bodoh.
Untunglah keadaan berubah di kelas empat. Di situ ada pelajaran noneksakta seperti ilmu bumi, ilmu hayat, dan mengarang (semua pelajaran berbahasa Belanda). Guru sering menyuruh saya membacakan karangan saya di depan kelas. Rasa yakin diri saya pun tumbuh.
Di SMP nasib saya menjadi jelek lagi. Tiap hari ada aljabar, ilmu ukur, dan ilmu alam. Akibatnya, saya tinggal kelas. Dunia seolah-olah kiamat. Ketika kemudian pindah ke SMP lain yang banyak porsi non eksaktanya, saya mulai bisa bernapas lega. Di sini guru juga sering menyuruh saya membacakan karangan di depan kelas.
Di sekolah teologi lebih enak lagi. Sama sekali tidak ada pelajaran eksakta. Apa yang mau dihitung oleh pendeta? Injil ada 4. Surat Paulus ada 7. Rasul ada 12. Cuma itu! Gampang banget!
Sekarang kita tiba pada titik temu karangan ini. Apakah ketiadaan eksakta berarti saya terbebas dari ketakutan kalau-kalau saya tidak bisa pandai dan tidak bisa menjadi orang berguna?
Baiklah saya tegaskan ini kepada Anda. Ternyata ketakutan dari masa SD itu masih melekat pada diri saya. Sampai hari ini saya masih takut kalau-kalau kinerja saya tidak berguna sebab hal itu akan berarti bahwa saya pun adalah orang yang tidak berguna.
Ketakutan seperti itu dalam ilmu pedagogi disebut ketakutan ontologik atau ketakutan hakiki. la ada di dasar diri seseorang. Wu judnya berbeda pada tiap individu. Ada yang takut menetapkan jati dirinya, atau takut berkomitmen jangka panjang, atau takut dicintai dan mencintai, dan sebagainya. Paul Tillich (1886-1965) mendalami teologi korelasi dan menulis, "Ketakutan tertanam dalam kemanusiaannya manusia."
Apakah ketakutan seperti itu merugikan atau menguntungkan? Itu tergantung pada cara kita mengatasinya. Contohnya ada dalam "Perumpamaan tentang Talenta" di Matius 25:14-30.
Sebelum melihat alurnya, perlu diingat bahwa tema perumpamaan ini bukanlah tentang bakat, uang, atau lainnya, melainkan tentang Kerajaan Allah (lih. ay. 14). Tepatnya, tentang cara umat mengelola Sabda Allah menjelang kedatangan Kerajaan Allah.
Untuk menyampaikan tema itu berceritalah Yesus tentang tiga orang pegawai yang dipercayakan sejumlah modal oleh majikannya untuk dikelola supaya berlipat ganda (lih. ay. 14-15).
Ketiga pegawai itu merasa takut mengingat majikannya berwatak keras dan tinggi tuntutan (lih. ay. 24-25). Perhatikan kata takut dalam kalimat "karena itu aku takut" (ay. 25).
Pegawai pertama dan kedua mengatasi rasa takutnya secara konstruktif. Mereka bekerja keras sehingga modal itu berbuah banyak (lih. ay. 16-17). Sementara itu, pegawai ketiga mengatasi rasa takutnya secara destruktif, yaitu menyembunyikan modal sehingga tidak menghasilkan apa-apa (lih. ay. 18).
Majikan itu memuji pegawai pertama dan kedua, sedangkan pegawai ketiga disebut "jahat dan malas" (ay. 26) dan "tidak berguna" (ay. 30). Yesus menilai pegawai ketiga itu sebagai "hamba yang tidak berguna" (ay. 30).
Perihal apakah rasa takut menguntungkan atau merugikan kita, itu tergantung pada cara kita mengatasinya.
Jika kita mengatasi ketakutan secara positif, kita justru jadi terpicu untuk bekerja lebih cermat dan lebih keras sehingga menghasilkan kegunaan. Dengan demikian, secara tidak langsung kita membarui diri kita. Sebaliknya, jika kita mengatasinya secara negatif, kita malah melarikan diri dari tanggung jawab itu sehingga tidak menghasilkan kegunaan apa-apa. Kita menjadi "hamba yang tidak berguna".
Pemazmur bertindak positif tiap kali ia merasa takut. la berdoa, Waktu aku takut, aku berharap kepada-Mu" (Mzm. 56:4, BIMK). Saat ini ketika membuat tulisan ini saya pun takut. Takut kalau kalau tulisan ini tidak bermutu sehingga menjadi tidak berguna.
Untuk mengatasi rasa takut itu saya bangun pukul empat pagi. Perbaiki lagi tulisan ini. Luruskan tikungan alurnya. Penggal kalimat nya. Ubah lagi. Buang bagian ini. Tambah bagian itu. Potong leraiannya. Mundurkan tegangannya. Pertajam citraannya. Periksa kesak samaannya. Hidupkan lakuannya. Persingkat. Permudah. Tulis ulang lagi. Saya takut kalau-kalau saya menjadi penulis yang tidak berguna.
Akan tetapi, justru rasa takut itu memicu saya bekerja lebih keras lagi agar tulisan ini mau Anda baca. Oleh sebab itu, buku ini saya sampaikan kepada Anda disertai ucapan, "Semoga buku ini berguna untuk Anda."
Saat ini pun petuah ibu masih terdengar, "Owe moesti radjin. Moesti kerdja keras. Soepaja pinter. Soepaja djadi orang bergoena."