AWAM DAN PENDETA
Setiap kali terjadi peneguhan jabatan dalam gereja, entah itu jabatan guru Sekolah Minggu atau penyanyi paduan suara, kita patut bertanya apa sebetulnya arti jabatan gerejawi dan bagaimana nisbah jabatan yang satu dengan yang lain.
Tentunya pertanyaan itu sudah mulai dipikirkan ketika gereja baru terbentuk pada abad ke-1. Akan tetapi, tidak banyak catatan yang kita punyai dari zaman itu. Catatan yang kini kita punyai berasal dari zaman Reformasi Gereja pada abad ke-16.
Ketika itu Martin Luther di Erfurt menggumuli nisbah antara jabatan rohaniwan (selanjutnya pendeta) dan jabatan warga gereja (selanjutnya: awam). Ia mempertanyakan keabsahan susunan tingkat antara pendeta dan awam yang berakibat bahwa pendeta mempunyai wewenang keimaman.
Menurut Luther, keadaan itu tidak sejiwa dengan gereja abad ke-1 yang menulis, "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat Allah sendiri, supaya kamu..." (1Ptr. 2.9, TB2), Terjemahan BIMK, "Tetapi kalian adalah bangsa yang terpilih, imam imam yang melayani raja, bangsa yang kudus, khusus untuk Allah, umat Allah sendiri. Allah memilih kalian..."
Mengomentari ayat itu Luther menulis, "Kita semua adalah imam imam yang ditahbis melalui baptisan." Di buku lain ia juga menulis, "Tidak ada perbedaan mendasar antara orang awam dan pendeta, pangeran dan uskup, pekerjaan religius dan pekerjaan sekuler, kecuali untuk pelaksanaan tugas, tetapi tidak untuk status."
Sekitar dua puluh tahun kemudian di Jenewa, Johanes Calvin menggarisbawahi pergumulan Luther itu. Calvin juga mengacu pada jabatan imam yang diberikan kepada tiap orang percaya sebagaimana ditulis di 1 Petrus 2:9.
Tulis Calvin, "Jabatan imam adalah milik Kristus sendiri... kita ti dak mempunyai akses kepada Allah kecuali jika Kristus sebagai Imam Besar... memberikan kepada kita anugerah itu ..."
Jadi, meskipun menggunakan ayat yang sama dengan Luther namun menurut Calvin dasar teologis keimaman orang awam bukanlah atas dasar baptisan seperti diyakini Luther, melainkan atas dasar anugerah.
Supaya tidak menimbulkan salah paham, Calvin menegaskan bahwa jabatan imam yang adalah milik Kristus itu dikomunikasikan bukan kepada kita sebagai individu, melainkan kepada kita sebagai persekutuan orang percaya. Tulis Calvin, "Semua orang percaya, termasuk yang berprofesi sekuler pun adalah hamba Allah dan imam yang melayani Allah serta melayani orang lain. Yang disebut hamba Tuhan bukanlah hanya mereka yang bertugas gerejawi, melainkan juga yang bertugas duniawi. Panggilan Tuhan bukan hanya berlaku bagi jabatan pendeta, melainkan bagi segala mata pencarian."
Argumen Luther dan Calvin tentang jabatan imam yang berlaku secara umum itu terkesan meyakinkan untuk dilaksanakan. Akan tetapi, pelaksanaannya ternyata tidak mudah. Yang dikutip tadi hanya dua penggalan tulisan Luther dan dua penggalan tulisan Calvin. Padahal baik Luther maupun Calvin banyak menulis tentang imamat umum ini.
Apakah Luther dan Calvin konsisten tentang imamat umum ini dalam tiap tulisannya? Tidak! Tidak ada pemikir yang selalu konsisten dengan pemikirannya selama beberapa dasawarsa. Ada banyak tan tangan baru yang menuntut pemikir itu berpikir ulang. Luther menghadapi sejumlah tantangan, antara lain sekelompok pengikutnya yang menafsirkan ajaran imamat umum itu secara radikal. Misalnya, dalam peristiwa Pemberontakan Petani pada tahun 1522-1525 di Wittenberg di bawah pimpinan teolog terkemuka Andreas Karlstadt yang menuntut penghapusan jabatan pendeta.
Apakah kini, lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, nisbah awam dan pendeta sudah kembali ke jiwa Gereja Perdana? Belum! Memang tema kemitraan awam dan pendeta sering diperdengarkan, misalnya dalam ibadah peneguhan atau persidangan gerejawi, namun sering itu hanya sebatas wacana.
Bagaimana halnya di kalangan Dewan Gereja se-Dunia (DGD)? Buku Awam dan Pendeta - Mitra Membina Gereja karangan Andar Ismail terbitan BPK Gunung Mulia menelusuri pemikiran DGD antara tahun 1948 sampai 1983, dan menyimpulkan temuan adanya sejumlah kemajuan, namun sekaligus sejumlah kemunduran.
Kini lima ratus tahun setelah Reformasi Gereja, malah dalam hal hal tertentu justru Gereja Katolik lebih reformatoris ketimbang Gereja Reformasi. Ambillah contoh di bidang liturgi dan pakaian liturgis. Pernah saya mengikuti misa di Katedral Utrecht dengan pengkhotbah yang mengenakan T-shirt bertulisan: Kijk Omhoog, yang sangat menopang tema ibadah, yang liturginya bersih dari jargon-jargon Latin atau Yunani. Sebaliknya, di Indonesia malah ada pendeta gereja berpaham reformasi, termasuk Gereja Pentakosta dan Kharismatik, namun gemar mengenakan jubah, stola, krusifiks, dan collar. Seandainya Luther dan Calvin kini bangkit kembali dan menghadiri ibadah kita, mungkin mereka akan bingung alias liyeur.