KARYAWAN DAN MAJIKAN
Kaki terjepit, kita menjerit. Kaki siapa? Kaki kita tentu saja. Masakan kaki orang lain terjepit kita yang menjerit. Kita diam saja, kita merasa kasihan. Kita memang melihat, memikirkan, dan merasakan segala sesuatu paling-paling dan sudut pandang atau perspektif diri kita sendiri. Persoalannya mulai timbul kalau itu menyangkut kepentingan dan hak. Kita sangat peka tentang hak kita sendiri. Kita menjerit kalau hak kita dijepit. Tetapi kita tenang-tenang saja kalau itu hak orang lain.
Persoalan bisa berkembang menjadi konflik kalau ada dua pihak saling berhadapan dengan kepentingan dan haknya masing-masing. Anak remaja jengkel karena merasa kebebasannya dibatasi oleh orangtua. Sebaliknya, orangtua marah karena merasa wewenangnya diabaikan oleh anaknya. Demikian juga dalam hubungan suami-istri atau karyawan-majikan. Di sini ada dua pihak, tetapi masing-masing hanya melihat dari perspektif sendiri. Ini namanya "cuma mikir diri sendiri" alias "emang gue pikirin".
Berpikir dari sudut pandang orang lain memang tidak mudah. Sebab itu, pengarang Efesus mengajak kita belajar menempatkan diri pada pihak lain. Ia memberi pedoman kepada kedua belah pihak. Dalam Efesus 5 ia menulis, "Hai istri, ..." (ayat 22-24) dan "hai suami, ..." (ayat 25-32). la melanjutkan dengan hubungan anak-orangtua, "Hai anak-anak,..." (6:1-3) serta "Dan bapa-bapa, ..." (6:4). Walaupun kata-kata yang digunakan untuk menasihati tiap pihak itu berbeda, ukuran dan berat muatan nasihat itu sama.
Lalu pengarang Surat Efesus ini memasuki persoalan hubungan karyawan-majikan (zaman itu: budak belian dan pemilik). Ia menulis, "Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu..." (6:5-8). Pengarang Efesus segera melanjutkan, "Dan kamu tuan-tuan, perbuatlah demikian juga terhadap mereka dan jauhkanlah ancaman. Ingatlah, bahwa Tuhan mereka dan Tuhan kamu ada di sorga dan la tidak memandang muka" (ay. 9). Di sini pun tampak bahwa meskipun panjangnya pedoman itu berbeda, inti dan bobotnya sama (perhatikan: "perbuatlah demikian juga" di ay. 9).
Apakah inti pedoman itu? Intinya adalah nasihat untuk bersikap seperti kepada Kristus (perhatikan "sama seperti kamu taat kepada Kristus" di ayat 5 dan "seperti orang-orang yang melayani Tuhan" di ayat 7). Itu nasihat kepada karyawan, lalu para majikan dinasihati, "perbuatlah demikian juga terhadap mereka" (ay. 9). Jadi, Surat Efesus memberi pedoman agar karyawan memperlakukan majikan seperti Kristus, demikian juga agar majikan memperlakukan karyawan seperti Kristus. Bukan main dalamnya pengertian itu.
Kalau kita sebagai karyawan dan majikan saling memperlakukan diri seperti Kristus, itu berarti kita berlaku benar, jujur, dan adil. Itulah pedoman baik untuk karyawan maupun untuk majikan. Pedoman itu bersifat timbal balik. Berlaku benar, jujur, dan adil sebagai karyawan berarti kita bekerja dengan kesungguhan dan mutu. Berlaku benar, jujur, dan adil sebagai majikan berarti kita menghargai martabat karyawan dan menggaji mereka dengan baik. Hubungan timbal balik itu bisa terjadi kalau dari kedua belah pihak ada iktikad baik: karyawan berprestasi secara optimal dan majikan menggaji secara optimal. Bertepuk sebelah tangan tiada akan berbunyi.
Kedua belah pihak juga perlu saling menghargai dan saling memerlukan. Karyawan memerlukan majikan karena majikan menyediakan lapangan kerja. Tanpa lapangan kerja kita semua menjadi penganggur. Sebaliknya majikan juga memerlukan karyawan. Tanpa pekerja pabrik kita akan berhenti. Jadi, kita saling memerlukan. Kalau begitu kita bukan hanya melihat kepentingan kita sendiri, melainkan juga kepentingan pihak lain. Karyawan melihat kepentingan majikan, yaitu agar produksi berjalan secara optimal. Karena itu, karyawan perlu berdedikasi dan berprestasi secara optimal. Pada pihak lain, majikan melihat kepentingan karyawan, yaitu agar gaji dapat menghidupi dan mengembangkan kesejahteraan keluarga karyawan.
Menempatkan diri pada pikiran dan perasaan pihak lain, itulah akar hubungan timbal balik. Karyawan belajar melihat majikan bukan hanya sebagai bos, melainkan juga sebagai manusia yang punya pelbagai perasaan. Pada pihak lain, majikan belajar melihat karyawan hanya sebagai tenaga kerja, melainkan juga sebagai manusia yang punya kebutuhan dihargai, disapa, dan dihormati. Kita memang peka atas kepentingan kita, sebab itu kita gigih memperjuangkan hak itu. Agaknya, kita masih perlu belajar untuk merasa peka atas kepentingan pihak lain dan bisa ikut membela hak pihak lain.
Kita berteriak kalau kaki kita diinjak. Kalau begitu kita perlu bisa menyelami dan ikut merasakan nyeri yang dialami orang lain ketika kakinya terinjak. Yang pasti, kalau kita tidak mau diinjak, janganlah kita menginjak kaki pihak lain. Hubungan timbal balik terjadi ketika kedua pihak mau menempatkan diri pada pikiran, perasaan, dan sudut pandang masing-masing. Seperti doa yang diucapkan orang Indian Sioux: Great Spirit, grant that I may not criticize my neighbor until I have walked one moon in his moccasins. Roh yang Agung, ajarlah aku tidak mengecam tetangga sampai aku berjalan selama satu rembulan dengan sandal ikat kakinya.
Tema 31
Titanic Ternyata Tenggelam
Mendengar kata teknologi orang biasanya membayangkan peralatan canggih yang serba modern. Perkataan itu sendiri baru populer pada abad ke-18. Namun, kata tekne dan logos sudah digunakan tiga ratus tahun sebelum Masehi dalam tulisan Sokrates. Lagi pula sebenarnya teknologi sudah dipraktikkan orang dari zaman dulu. Apa itu teknologi? Batang kayu adalah benda alam. Ketika batang kayu itu dikerjakan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah perahu untuk menyeberangi danau, batang kayu itu telah berubah dari benda alam menjadi benda hasil karya teknologi.
Sebuah mobil harganya mahal. Bahan baku utama mobil itu adalah sekian ratus kilo besi. Sebenarnya, harga sekian ratus kilo besi jauh lebih murah daripada harga mobil itu. Katakanlah harga bahan bakunya itu hanya 1/10 dari harga mobil. Sisa harganya, yaitu 9/10 kita bayar untuk teknologi mobil tersebut.
Dari dua contoh itu tampak arti teknologi. Teknologi adalah kemampuan mengolah dan membuat benda atau bahan menjadi alat yang berdaya guna untuk maksud tertentu. Jelas, teknologi sangat berguna untuk kehidupan. Apa jadinya hidup kita tanpa teknologi pengobatan. Akan tetapi, pada pihak lain, teknologi bisa juga mengancam hidup, misalnya limbah akibat teknologi nuklir atau kemusnahan akibat teknologi perang. Teknologi bisa menghidupkan dan juga bisa mematikan. Lepas dari dampak menghidupkan atau mematikan, sebuah karya teknologi dapat membuat orang lupa diri atau arogan alias takabur. Gejala takabur itu tampak dalam kecenderungan menjadikan teknologi sebagai ukuran atau matra tunggal. Mutu rumah sakit hanya diukur dari faktor teknologi, akibatnya faktor lain seperti kebersihan, keramahan, dan kejujuran diabaikan. Kemajuan negara diukur hanya dengan kemajuan teknologi sehingga demokrasi, keterbukaan, dan hak asasi dikesampingkan.
Akibatnya, manusia juga diukur dengan matra tunggal. Makna manusia melulu dianggap sebagai sumber daya, yaitu sumber daya untuk teknologi. Pendidikan di sekolah pun dipersempit dengan tujuan ke arah tunggal, yaitu menyiapkan tenaga untuk teknologi. Pendidikan seperti ini memerosotkan naradidik yang sebenarnya adalah subjek bermatra ganda dalam hidup yang berarah ganda menjadi objek yang bermatra tunggal dalam hidup yang berarah tunggal.
Gejala takabur lain, misalnya, adalah penganak-emasan teknologi dan menjadikannya sebagai proyek mercusuar. Ada negara yang berhasil mengirim astronot ke ruang angkasa, padahal rakyatnya harus antri berebut roti. Ada negara yang bisa membuat senjata nuklir, padahal rakyatnya jadi gelandangan di tepi jalan. Ada negara yang punya program mengekspor pesawat terbang, padahal untuk kebutuhan yang paling sederhana seperti jagung dan keledai, cangkul dan jala ikan masih harus impor, itu pun dengan meminjam uang dari negara lain.
Teknologi dapat membuat kita mempunyai rasa yakin diri berlebihan (over-selfconfidence). Karena peralatan bedah di rumah sakit begitu canggih, baik pihak rumah sakit maupun pihak pasien merasa begitu yakin bahwa operasi jantung ini tidak mungkin gagal. Ternyata kuman kecil di jari perawat menimbulkan infeksi. Akibatnya, pasien meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Rasa takabur dan sombong ini tampak pada Raja Hosea dan para jenderalnya. Mereka baru berhasil mengembangkan teknologi perang yang paling mutakhir untuk zaman itu, yaitu kereta berkuda. Dengan peralatan canggih ini, yang tidak dimiliki pihak lawan, raja yakin bahwa pertempuran tidak mungkin gagal. Beberapa tahun sebelum Raja Hosea menjadi raja, arogansi ini sudah dinubuatkan Nabi Hosea (nama sama!), ketika ia berkata, "Oleh karena engkau telah mengandalkan diri pada keretamu, pada banyaknya pahlawan-pahlawanmu, maka keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan..." (Hos. 10:13-14). Nabi menegur raja ketika raja lebih mengandalkan teknologi daripada Tuhan. Ternyata teguran itu benar. Beberapa belas tahun kemudian negara hancur, sebagaimana dicatat dalam 2 Raja-Raja 17.
Takabur akan teknologi juga terjadi pada kasus kapal Titanic yang tenggelam pada tahun 1912. Kapal itu dirancang dan dibangun selama beberapa tahun dengan teknologi yang paling modern untuk zaman itu. Kapal ini adalah kapal yang paling canggih peralatannya, paling kuat, paling cepat, paling besar, paling bagus, dan paling mahal. Dengan penuh rasa yakin diri orang berkata, "Kapal ini unsinkable. Kapal ini tidak bisa tenggelam." Akan tetapi, ternyata pada pelayarannya yang pertama dari Southampten ke New York kapal ini menyerempet gumpalan es lalu konstruksi dindingnya robek. Air masuk. Beberapa jam kemudian tubuh kapal ini pecah menjadi dua bagian. Lalu, ia tenggelam ke dalam dasar samudra. Kisah nyata ini difilmkan secara memukau oleh sutradara James Cameron. la menerangkan, "Saya ingin memperlihatkan bahwa kekuatan manusia justru hancur oleh kelemahannya sendiri, yaitu kesombongan dan keserakahan."
Perancang dan kapten kapal ini tidak bisa percaya pada mata sendiri ketika melihat air masuk. Kapal mulai miring. Makin lama makin miring. Semburan air masuk dari kanan dan kiri. Penumpang menjerit dan berlarian kian kemari dengan ketakutan dan kepanikan. Di tengah keributan itu perancang dan kapten kapal cuma terbisu dan terpaku. Tidak mungkin! Tidak mungkin Titanic tenggelam! Akan tetapi, ternyata Titanic tenggelam. Titanic hasil teknologi tertinggi. Titanic yang tercanggih, terkuat, terbesar, terbagus, tercepat, dan termahal ternyata tenggelam. Titanic ternyata toh tenggelam. Trenyuh. Tragis. Teramat trenyuh. Teramat tragis.