APABILA ENGKAU SUDAH MENJADI KENYANG
Apa yang terjadi kalau kita sudah kenyang? Mungkin kita jadi mengantuk. Kalau kita makan terlalu banyak, maka perut kita menghadapi tugas berat, yaitu mencernakan makanan. Apalagi kalau makanan itu tergolong yang susah dicerna, misalnya makanan yang keras atau yang sangat berlemak. Ketika energi dalam tubuh terkuras untuk mencerna makanan, maka tubuh akan bereaksi. Misalnya, kita merasa lelah. Ketajaman berpikir menurun. Kita melupakan apa yang sebenarnya patut kita ingat. Kita mulai mengantuk. Pada saat-saat seperti itu kita lupa bahwa tadi kita lapar.
Rupanya Musa pernah mengalami hal itu. Sebab itu, ketika ia memperingatkan umat akan bahaya kemapanan, ia memakai bahasa kiasan tentang perut yang kenyang. la berkata, "... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN..." (Ul. 6:11-12).
Peringatan ini diucapkan Musa dalam rangka pidato perpisahan nya. Musa akan berpisah dengan umatnya sebab umat akan memasuki negeri yang baru. Umat sudah mengakhiri perjalanan panjang selama 40 tahun di gurun. Selesailah sudah segala penderitaan. Selama 40 tahun umat telah menderita kelaparan dan serba kekurangan. Mereka mengembara tanpa kepastian. Akan tetapi, sekarang mereka menghadapi babak yang baru. Mereka akan segera memasuki dan menetap di negeri yang dijanjikan. Mereka akan hidup serba kecukupan.
Dalam Ulangan 6:10-11 Musa menyebut tanda-tanda kecukupan: kota yang besar dan baik, rumah penuh berisi berbagai barang yang baik, sumur, kebun anggur, dan kebun zaitun. Dalam Ulangan 8:12-13 dicatat lagi beberapa tanda lain: makanan yang berlimpah, rumah yang baik pertambahan ternak, pertambahan emas dan perak. Musa mengantisipasi bahwa umat akan menjadi makmur. Ia berkata, "... segala yang ada padamu bertambah banyak" (Ul. 8:13).
Pendek kata, umat akan berkedudukan baik. Umat akan menjadi kaya. Umat akan menjadi mapan. Lalu bagaimana perasaan Musa? la merasa bersyukur, namun pada lain pihak ia juga merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan bukan hanya bersegi positif, melainkan juga negatif. Secara terus terang ia menyebut beberapa segi negatif itu. Pertama: tinggi hati dan melupakan Tuhan. Katanya, "jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan yang memimpin engkau melalui padang gurun." (UI. 8:14-15). Segi negatif yang kedua: mabuk keberhasilan atau sok diri berhasil. Ia mengingatkan, "Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini" (UI. 8:17).
Musa merasa khawatir. Kemapanan, kedudukan dan kekayaan ada bahayanya. Sebuah keberhasilan bisa membahayakan. Karena itu, Musa mengingatkan umat, "... apabila engkau sudah makan dan kenyang, maka berhati-hatilah..." (UI. 6:11-12). Pada saat lapar kita membutuhkan orang yang akan menyediakan makanan. Namun, ketika sudah makan dan kenyang kita melupakan dia. Habis manis sepah dibuang, habis makanan juru masak diabaikan. Bukankah di tiap pesta kita bersemboyan: SMP! Sudah makan pulang? Atau SMK! Sudah makan kabur!
Selama 40 tahun di gurun pasir umat haus dan lapar. Mereka bergantung pada anugerah Tuhan. Namun, segera keadaan akan berubah. Umat akan masuk ke negeri makmur. Umat akan menjadi kenyang dan kaya. Mereka tidak merasa perlu lagi akan Tuhan. Itulah sebabnya Musa khawatir. Karena itu, detik-detik terakhir dalam perpisahan ini digunakan oleh Musa untuk memberi peringatan demi kebaikan umat itu sendiri. Ia berkata, "Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu ..." (Ul. 8:10). Perhatikan kata "memuji" dalam kalimat itu. Dalam Alkitab bahasa aslinya digunakan kata barak yang berarti 'memberkati'. Apakah itu tidak janggal? Masakan kita memberkati Tuhan? Bukankah Tuhan yang memberkati kita?
Perasaan janggal itu disebabkan karena kita sudah terbiasa memberi arti yang sempit terhadap kata memberkati, yaitu dalam arti memberi secara materi dan fisik. Misalnya, diberkati pengobatannya sehingga menjadi sembuh, diberkati dengan anak, diberkati pelajarannya sehingga lulus, diberkati dengan harta benda, dan sebagainya.
Sebenarnya, bukan itu arti kata memberkati. Barak atau memberkati berarti ‘memelihara hubungan yang mendalam'. Menurut Musa, kalau kita sudah berhasil, berkedudukan baik dan mapan, janganlah kita meninggalkan Tuhan, melainkan memberkati Tuhan. Artinya adalah memelihara hubungan yang intim dengan Tuhan. Itulah maksud Musa ketika ia menggunakan kata barak, Barak bukan sekadar berarti 'memuji" atau 'bersyukur' seperti yang diterjemahkan sejauh ini. Barak berarti 'memberkati'. Kita terpanggil untuk memberkati Tuhan, dalam arti memelihara hubungan yang akrab dengan Tuhan. Bukan hanya Tuhan yang memberkati kita, melainkan kita juga memberkati Tuhan, Memberkati merupakan perbuatan dua arah.
Kalau sudah makan kita menjadi kenyang. Kalau sudah maju, kita menjadi kaya. Kalau sudah mapan, kita menjadi kuasa. Semoga kita mendengar peringatan bahwa semua itu ada bahayanya. "Apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah."