BANGUN DARI MIMPI
Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai (Yoh 4:35)
Betapa kerap seorang pegiat sosial memulai karyanya dengan impian besar: "Dunia harus berubah dan Tuhan memanggil saya untuk melakukannya." Keyakinan itu muncul dengan sangat kuatnya. Tak sedikit orang Kristen, mungkin juga kita, bahkan dengan sukarela mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk memasuki sebuah komunitas yang miskin dan perlu ditolong. Ketika seluruh persiapan fisik mental dan pengetahuan dirasa cukup berangkatlah kita dengan penuh idealisme menggebu. Serangkaian rancangan, proyek sudah berkecamuk dan ingin agar mimpi segera diwujudkan. Bahkan sebelum sampai ke tempat kita berkarya. Semua sudah siap dikerjakan dan mimpi segera diwujudkan namun yang terjadi tidaklah sesuai dengan harapan. "Mengapa Tuhan diam saja, sementara aku bekereja keras, penuh kerelaan demi Dia." Sekaranglah saatnya, tak bisa ditunda lagi. Hari demi hari pun dilalui dengan penuh semangat.
Tetapi, ketika setelah sekian lama, kita mulai bertanya-tanya. "Mengapa ladang yang menguning tak juga siap dituai? Mengapa tak ada perubahan berarti? Mengapa mereka tidak mau menerima kita dengan terbuka? Dan serangkaian pertanyaan lainnya." Kemiskinan di depan mata tak juga teratasi, malah semakin banyak. Satu atau dua anak mungkin berhasil diyakinkan untuk bersekolah. Namun bagaimana dengan puluhan anak lainnya? Dan kalkulasi pun dilakukan. Mulai dari kalkulasi waktu yang sudah dihabiskan dibandingkan dengan berapa banyak waktu depan yang tersisa hingga kalkulasi tenaga dan uang yang terbuang. Bahkan kalkulasi iman-"Mengapa Tuhan diam saja sementara aku bekerja keras penuh kerelaan demi Dia.”
Tiba-tiba kita merasa tidak mengenal lagi orang-orang yang selama ini kita layani. Mereka kini terasa asing, Jangan-jangan selama ini kita sesungguhnya tidak melayani mereka namun melayani harapan dan impian kita sendiri. Dan mereka, orang orang itu, membantu kita memenuhi semua idealisme kita. Ladang memang sudah menguning dan siap dituai, Namun para penuai ternyata tak sebaik yang dibutuhkan. Komunitas tempat kita berkarya tak juga berubah. Dan kalau pun berubah ternyata malah makin memburuk. Jika begini, apa lagi yang dapat membuat karya kita penuh sukacita?